Senin, 18 Februari 2013

Perlunya Sanad Guru dalam menuntut ilmu

Berkata Ibnu Sirin :
Ilmu itu adalah agama, Maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agama (ilmu agama tersebut), Telah bersabda Rosululloh Sholallohu 'Alayhi Wa Sallam :
Siapa orangnya yang menguraikan Al-Qur'an dengan akal pikirannya sendiri, Sesungguhnya ia telah berbuat kesalahan. (HR. Ahmad)

Sanad itu bagian dari agama, Jika tidak karena sanad maka setiap orang akan berkata apa saja yang dikehendakinya (Yaitu dalam urusan agama tanpa ilmu mendalam tentangnya) Muqoddimah Shahih Muslim Imam Mubarok.

Ingatlah....Ukuran kelayakan keilmuan yang sebenarnya dalam neraca pembelajaran dan pengajaran ilmu-ilmu agama yang murni bukanlah pada ukuran akademis MODERN yang merupakan acuan tradisi barat, tetapi ukuran sebenarnya adalah pada sandaran (sanad) keilmuan seseorang yang mengajar ilmu agama, baik sanad ilmi, ijazah tadris, ijazah 'ammah yang disertai ijazah tadris maupun lainnya yang menjadi sumber rujukan.

Imam Sufyan Atsauri berkata :
Sanad adalah senjata seorang mukmin, Bila ia tidak memiliki senjata maka dengan apa ia berperang???
Syu'bah bekata :
Setiap hadits yang tidak terdapat di dalam kalimat Haddatsana (Telah menceritakan kami) dan Akhbarona (Telah mengabarkan kami), Maka ia seperti seseorang lelaki di tanah lapang bersama seekor keledai yang tidak memiliki tali kekang.

Berkata Al-Auzai : ''Tidaklah hilang ilmu melainkan karena hilangnya sanad"
Maaf disini ane bukan sekedar ingin membanggakan siapa guru ane, tapi disini agar kita tidak tertipu didalam agama dan asal bicara dalam agama, seperti perkataan Al-Imam Mubarok : Sanad itu bagian dari agama, Jika tidak karena sanad maka setiap orang akan berkata apa saja yang dikehendakinya (Yaitu dalam urusan agama tanpa ilmu mendalam tentangnya)

Sebagian ulama mengumpamakan hadit tanpa sanad itu bagai rumah yang tanpa atap dan tiang, Dan inilah yang teruntai dalam suatu syair :
Jika ilmu kehilangan sanad musnid, Maka Ia seperti rumah yang tidak beratap dan berpasak (Pondasi). Musnid artinya Orang yang memberikan sanad.

Berkata Imam Syafi'i Rohimahulloh Ta'aala kepada Abu Ali bin Miqlas :
"Kamu ingin menghafal hadist (semata-mata) lalu serta merta ingin menjadi faqih???
Tidaklah sama sekali...Sangat tidak Realistis"

Imam Al-Bayhaqi menjelaskan hal ihwal perkataan ini bahwasanya manfaat menghafal hadits2 adalah pada mempelajari maknanya yang dikenali sebagai Attafaqquh. Kesibukan dalam menghafal hadits namun tidak mendalami pemahaman tentang hadist yang dihafal itu tidak membuat seseorang itu menjadi faqih sama sekali.

Karena itu Imam Ahmad berkata :
'Mengetahui makna hadits dan menjadi faqih dalam hadits lebih aku sukai daripada menghafalnya (Tanpa memahaminya).


Di antara musnad2 yang termasyhur adalah Musnad Ma'mar bin Rasyid (152 H/768 M), Musnad Atthoyalisi (204 H/819 M), Musnad Alhumaidi (219 H/ 833 M), Musnad Assyafi'i (204 H/819 M), Musnad2 tsb adalah pegangan pokok bagi para pengarang yang datang setelah itu mereka merujuk kepadanya dan menjadikannya sebagai sumber mereka. Dan hal inilah sebagai realisasi (kenyataan) dari janji Alloh Ta'aala dalam menjaga Addzikr yang diturunkannya, dalam firman-Nya surat Al-Hijr ayat 9.

Dalam tradisi belajar mengajar dikalangan umat islam, sanad ilmu menjadi unsur utama, Imam Syafi'i berkata:
"TIADA ILMU TANPA SANAD" dan berkata pula :
"Penuntut ilmu tanpa sanad bagaikan pencari kayu bakar yg mencari kayu bakar, yg ia pakai sbagai tali pengikatnya adalah ular berbisa tetapi ia tak mengetahuinya".

Dan masih bnyak lainnya pendapat para ulama tentang sanad.

Mungkin para penuntut ilmu pada masa zaman sekarang kini punya pandangan bahwa mencari pengetahuan agama serta mendalaminya dapat dilakukan dengan cara instan. Karena banyak buku2 agama sudah diterjemahkan, diringkas dan dibahas secara tematis dan faktual, begitu pula dengan kecanggihan teknologi melalui dunia maya sebut saja Mbah Google...Hehee...

Seseorang yang ingin menambah pengetahuan agama dan mengetahui jawaban atas berbagai permasalahan agama tak perlu lagi bersusah payah mengaji kepada Ulama untuk skian lama dan membuka kembali kitab2 Turots (yaitu khazanah klasik) atau kita sebut petuah para Ulama. Pendapat ini memang sepintas benar.

Tapi ingat ada suatu perkataan yang termasyur yang berbunyi :

MAN KAANA KITABUHU USTADZUHU FADHOLALUHU AKTSARU MIN FAHMIHI Artinya :
Siapa orangnya yang menjadikan kitab/buku sebagai gurunya, Maka ketersesatannya itu lebih banyak dari pada pemahamannya.
Maksudnya adalah meraih pengetahuan dengan sekedar mengandalkan buku bacaan, di khawatirkan akan melibatkan seseorang kepada takwil atas teks yang tidak mengertinya, yang berimbas pada pengetahuan yang salah. Contohnya seperti wudhu, sholat, dll itu bagaimana caranya? Wal Iyaadzubillah...

Karena orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja tidak akan menemui kesalahannya, karena buku tidak bisa menegur, sedangkan guru bisa menegur jika salah, Atau jika ia tak paham maka ia bisa bertanya, Tapi kalau berguru hanya kepada buku, Jika ia tak paham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya.
Walau dmikian kita boleh membaca buku tapi kita juga harus mempunyai guru yang mana bisa bertanya kepadanya jika kita mendapatkan masalah, terutama guru2 yang bersanad akan keilmuannya.

Alhamdulillah guru2ku semuanya bersanad akan keilmuannya dari kitab2 hadits, tafsir, tauhid, kalam dan wirid atau Hizb-hizb lain2nya. yang semuanya mengalir melalui Syekh Muhammad Yasin Alfadani, Syekh Sayyid Muhammad Almaliki, Syekh Ibrahim Ismail Azzein Alyamani Almaki Rohimahumulloh Ta'aala wa Furu'ihim wa Nafa'analloh bihim bi'ulumihim fiddayroni Aamiin...

Semoga Alloh Ta'aala memberikan kemudahan kepada kita semua didalam menuntut ilmu dan tidak salah dalam memahaminya Innaka 'Alaa Kulli Syay_in Qodiir Aamiin...

-----------------------------------------------------------------------

Ada yang mngatakan bahwa "man syaikha lahu fasy syaithanu syaikhuhu" adlh sbuah Hadits.
Benarkah demikian?
Syukran, jazakumullah.

Sisa Daweut Gata/ Moh.Nasir...Selama yang ane pelajari dngn2 guru ane itu adalah perkataan para sebagian ulama yang berbentuk syi'ir atau maqolah :

MAN LAA SYAIKHO LAHU FASYAYHUHU ASSYAYTHONU

karena perkataan ini adalah untuk adab para Assalafussholih yaitu belajar dari seorang Guru secara musyafaah, oleh karena itu ilmu yang diperolehnya dari buku2/kitab2 itu saja dikalangan ahli ilmu seperti tiada dan tidak bisa kita aman menuqilkannya kembali untuk diterapkan kmudian, karena ia tidak mempunyai sanad Masyikhoh (sandaran keguruan) sebagaimanya lazimnya cerita Sayyiduna Nabi Musa AS, Yang bepergian jauh tuk 'talaqqi ilmu' kepada Alkhidir AS, Dan juga Sayyiduna Jabir bin Abdulloh yg menempuh jalan selama 1 bulan pada masanya untuk menemui Abdulloh bin Anis hanya untuk mempelajari 1 hadits saja.

Karena tidak mengetahui sesuatu itu wajib bertanya kepada ulama, dan sekiranya ketiadaan ulama maka wajiblah berlayar walaupun sampai ke kutub.
Sebagaimana dalam Zubad Ibnu Ruslan :
Man lam yakun ya'lamu dzaa fal yas_al

Man lam yajid Mu'alliman fal Yarhal

Siapa yang tidak mengetahui ini, maka hendaklah ia bertanya

siapa orangnya yg tdk mendapatkan guru hendaklah ia berangkat kemanapun mencarinya.

Jadi apakah itu hadits atau bukan Wallohu'alam...
afwan ^_^


Oleh : Ilham Sandy Firtha
Kaum Sarungan, 13 Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar