Selasa, 13 November 2012

Apakah Tauhid itu?


tauhid,,, simpelnya.. mengESAkan Allah..
inti dr tauhid ntu ada dlm QS. Al Ikhlas

Allah ahad pd zat, sifat n prbuatan'a.

Ahad pd zat : misal ade, ade neh ada terlihat 1 tp ada unsur lain spt ada 2 mata, 2 tangan, jd walau terlihat 1 tp sebenernya tdk 1. zat Allah ahad  tdk ada yg lain.
Pesannya : Jangan berfikir ttg zat Allah

Ahad pd perbuatannya : tdk ada yg bs  menyamai prbuatan Allah, misal Allah menciptakan nyamuk, manusia ga da yg bs buat kn?

Ahad pd sifat2NYA, yi kekal. Semua makhluk pasti pernah mati kec Allah..

Ahad utk di sembah.
(Adelia Fitria)

Adelia ...Ooh Gtu yah de, Berarti Ahad itu Tidak terdiri dari satu kesatuan atau unsur. Seperti Contohnya : ALLOH Itu Ahad bukan Satu, Karena bila dkatakan ALLOH 1 maka masih bisa trdiri dari unsur atau bgian2 contohnya : 1 motor, 1 Motor ini masih trdiri dari beberapa bgian yaitu stank, ban dll, Dan cntohnya 1 atom masih terdiri dari beberapa unsur yaitu newton, proton, elektron.
Jadi ALLOHU AHAD bukan ALLOH SATU. Maksudnya Esa dari Dzat, sifat, perbuatan.

Seperti yg dkatakan Muhammad Akmal ifradul ma'bud bil i'tiqadi,wahdatihi zatan,sifatan wa af'alan yang artinya : Mengesakan yg dismbah dngn meyaqini keesaan-NYA, scara Dzat, sifat dan perbuatan-NYA.


Dalam kitab Risaalatu Qusayriyyah Lil Imaami Abil Qosim 'Abdil Kariim Bin Hawaazin Alqusayri hal 18 djelaskan tntang Tauhid :
aku mendngar Abu Haatim Assajastaaniyy ia berkata : Aku mndngar Abu Nasr Atthuwsiyy Assirooj ia menceritakan dari Yusuf Bin Husain ia berkata :
Telah brdiri seorang lelaki di antara k2 tngan Dzannun Al-Misri,

Maka ia bertanya : Berikanlah kabar olehmu akan diriku tentang tauhid ? Maa Huwa (Apakah itu Tauhid) ?

Maka Dzannun Al-Misri berkata :
Tauhid itu adalah kau mengetahui/meyaqini akan kekuasaan ALLOH TA'AALA pada sgala sesuatu dngn tanpa campuran (bantuan) siapapun, dan penciptaan-Nya pada stiap sesuatu dng tanpa kekurangan /pnyakit/cacat, Dan sgala sbab akibat sesuatu Dialah yang menciptakan-Nya, dan tdk ada sbab akibat karena Dialah yang telah menciptakan-Nya,
Dan tidak ada di dlam langit yg pling tinggi dan tidak ada di bumi yg paling dalam/rndah yang mengatur melainkan ALLOH.
Dan pada stiap bntuk didalam sangkaan engkau tentang ALLOH, Maka bg ALLOH Itu berbda (tdk sama) dngn yg dmikian maksudnya ALLOH berbda dngn yg lainnya.

Wallohu'alam bisshowaab...^_^
(Ilham Sandy Firtha)


Kaum Sarungan, 15 Februari 2012 

HEWAN HARAM DAN YANG HALAL

HEWAN HARAM DAN YANG HALAL

 


Dalam soal halal atau haramnya memakan hewan, ada sebuah kaidah fikih yang menyatakan:
jika dalam satu hewan terdapat aspek yang menghalalkan dan aspek yang mengharamkan, maka yang dimenangkan adalah aspek yang mengharamkan.
Sebagai contoh, hewan yang lahir dari pasangan babi (haram) dan kambing (halal) dalam soal hukum memakannya adalah mengikuti unsur sang babi. Artinya, anak yang lahir dari pasangan campuran tsb adalah haram. Hubungan kaidah di muka dengan kodok, rajungan, kepiting dan penyu:

1. Kodok
adalah spesis hewan yang dapat hidup di dua tempat, air dan darat (ampibi). Kalau melihatnya sebagai hewan yang dapat hidup di air maka ia adalah halal dimakan. Rasul SAW. mengatakan:
"Ia (laut) adalah yang suci airnya dan yang halal bangkainya" (Turmudzi dan Nasa i).
Artinya, segala hewan yang dapat hidup di air adalah halal dimakan. Namun melihatnya sebagai hewan yang dapat hidup di darat, ia adalah jenis hewan melata yang dianggap menjijikkan, sehingga memakannya adalah haram. Menurut alur fikih demikian ini, yang didukung oleh ulama-ulama Syafi'iyah, maka kodok adalah hewan yang haram dimakan. Karena ia mengandung unsur haram (darat) dan unsur halal (laut), dan sesuai dengan kaidah di muka, maka yang menentukan adalah unsur haramnya. Di samping itu sebagian besar ulama (selain Malikiyah) mengharamkan kodok karena Nabi saw. melarang membunuh kodok (HR. Abu Dawud, Ahmad, dll).
Biasanya Nabi melarang membunuh suatu hewan itu adakalanya karena haram memakannya, atau karena memulyakannya, atau kedua-duanya.

2. Rajungan
halal, karena ia ternasuk hewan yang hanya mampu hidup di laut (air).

3. Kepiting
Para ulama di Indonesia, yang merupakan pengikut madzhab Syafi'iyah, berselisih pendapat, sesuai dengan asumsinya masing-masing. Sebagian mengatakan, bahwa kepiting adalah jenis hewan ampibi, maka hukumnya haram dimakan. Dan sebagian yang lain mengatakan, bahwa ia hanya mampu hidup di air saja, maka ia halal dimakan. Kalau menurut saya, ia adalah jenis hewan yang hanya mempu hidup dengan bantuan air. Ia mampu hidup di darat asalkan ditaruh ditempat yang basah. Jadi, ia adalah halal dimakan.

4. Penyu
Menurut ulama-ulama Syafi'iyah, ia haram dimakan karena dianggap sebagai hewan darat atau setidak-tidaknya ia adalah jenis hewan ampibi. Sementara menurut Malikiyah, hewan dianggap sebagai jenis "hewan air", jika ia mampu hidup di dalam air, walaupun juga mampu hidup di daratan. Sehingga menurut teori fikih Malikiyah ini, katak, rajungan dan kepiting hukumnya halal. Adapan penyu menurut Imam Malik, mempunyai dua jenis, yang pertama adalah jenis air (sulahfaah) dan jenis darat (tursul maa'). Jenis pertama halal (walaupun tanpa disembelih) dan jenis kedua halal dengan syarat harus disembelih secara syar'iy.

Oleh : Sunten Negeri Atas Awan
Kaum Sarungan, 20 Februari 2012

PEREMPUAN DAN MASJID


DR. KH. Abdul Ghofur Maimoen

Dalam Surah An-Nur: 36-37 disebutkan: Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.

Sebagian ulama tafsir menegaskan bahwa kata laki-laki di dalam ayat di atas juga termasuk perempuan, sehingga tidak hanya laki-laki saja yang berhak untuk melakukan aktifitas di masjid, tetapi juga kaum hawa dengan tanpa diskriminasi.

Masjid adalah tempat untuk mendapatkan siraman-siraman rohani, baik lewat mendengarkan ceramah keagamaan maupun praktik kerohanian. Hak wanita dan hak pria dalam hal ini juga sama, tak ada perbedaan. Rasulullah s.a.w. telah menegaskan dalam satu hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Umar: "Apabila istri kalian meminta izin ke masjid maka janganlah kalian menghalanginya". (h.r. Bukhari Muslim)

Hadist tersebut kelihatannya kontradiksi dengan hadist yang mengatakan "Sebaik-baik sholat perempuan adalah di rumahnya" (h.r. Ahmad dll.), namun dapat dipadukan bahwa hadist yang mengatakan bahwa sholat perempuan di rumahnya lebih utama adalah pada kondisi rumah itu lebih aman baginya dan tidak merepotkannya atau tidak ada alasan kuat yang menganjurkannya untuk ke masjid. Ataupun pada kondisi perempuan pergi ke masjid dengan pakaian glamor, memakai make-up dan wangi-wangian berlebihan sehingga kepergiannya ke masjid tidak mencerminkan untuk menjalankan ibadah.

Adapun hadist yang melarang menghalangi perempuan ke masjid adalah pada kondisi dimana itu sangat bermanfaat baginya, misalnya menghadiri majlis taklim dan kajian-kajian agama di masjid atau belajar agama. Begitu juga pada waktu hari raya Idul Fitri dan Idu Adha, dimana kaum hawa dianjurkan untuk ikut meramaikan masjid.

Takut Fitnah, Apakah benar demikian?

Ada juga alasan 'takut fitnah' untuk melarang perempuan ke masjid. Namun sebenarnya itu hanyalah phobia atau ketakutan yang tidak beralasan. Pada zaman sekarang ini justru perempuan kita harus lebih banyak ke masjid. Kalau perlu, kegiatan perempuan juga sebaiknya lebih banyak yang terkait dengan aktifitas masjid agar hati mereka lebih dekat dengan masjid dan banyak tertaut dengan ajaran agama dan pesan-pesan spiritual yang ada di masjid.

Betapa pada zaman ini kita sangat risau dengan sepak terjang kaum perempuan yang tidak saja semakin jauh dari masjid, namun juga menampilkan aktifitas yang bertentangan dengan nilai-nilai moral agama. Mungkin itu juga dampak dari keterasingan mereka dari masjid dan segala aktifitas positifnya.

Oleh karenanya, Imam Ibnu Hazm menentang riwayat "salat di rumah lebih baik bagi wanita". Ia selanjutnya membuat analogi demikian: jika memang wanita sebaiknya melakukan ibadah di rumah, kenapa Rasul menyuruh mereka untuk keluar rumah di saat kaum muslimin merayakan hari lebaran (ied)? Bahkan wanita yang sedang dalam keadaan datang bulan pun diminta Rasulullah s.a.w. ikut keluar (rumah) pula, karena lebaran adalah hari pestanya kaum muslimin. Wallahu a'lam

Oleh : Sunten Negeri Atas Awan
Kaum Sarungan, 20 Februari 2012