Senin, 04 Februari 2013

Madzhab al-Asy’ari dan Madzhab Fiqih yang Empat



Dalam bidang fiqih dan amaliah Ahlussunnah wal jama’ah mengikuti pola bermadzhab dengan mengikuti salah satu madzhab fiqh yang dideklarasikan oleh para ulama yang mencapai tingkatan mujtahid mutlaq. Beberapa madzhab fiqh yang sempat eksis dan diikuti oleh kaum Muslimin Ahlussunnah wal Jama’ah ialah madzhab Hanafi. Maliki, Syafi’i, Hanbali, madzhab Sufyan al-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, ibn Jarir, Dawud al-Zhahiri, al-Laits bin Sa’ad, al-Auza’i, Abu Tsaur dan lain-lain. Namun kemudian dalam perjalanan panjang sejarah Islam, sebagian besar madzhab-madzhab tersebut tersisih dalam kompetisi sejarah dan kehilangan pengikut, kecuali empat madzhab yang tetap eksis dan  berkembang hingga dewasa ini. Pengikut empat madzhab tersebut, diakui sebagai kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Berkaitan dengan hal tersebut, disini perlu dikemukakan sebuah pertanyaan, dimanakah letak posisi
madzhab al-Asy’ari di kalangan pengikut madzhab fiqh yang empat? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita ikuti penjelasan berikut ini secara rinci tentang posisi madzhab al-Asy’ari di kalangan pengikut madzhab fiqh yang empat. (1)

Madzhab Hanafi

Madzhab Hanafi ini didirikan oleh al-Imam abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit al-Kufi (80 – 150 H / 699-767 M). Pada mulanya madzhab Hanafi ini diikuti oleh kaum Muslimin yang tinggal di Irak, daerah tempat kelahiran abu Hanifah, pendirinya. Namun kemudian, setelah Abu Yusuf menjabat sebagai hakim agung pada masa Daulah Abbasiyyah, madzhab Hanafi menjadi populer di negeri-negeri Persia, Mesir, Syam dan Maroko. Dewasa ini, madzhab Hanafi diikuti oleh kaum Muslimin di Negara-negara Asia Tengah, yang dalam referensi klasik dikenal dengan negeri seberang Sungai Jihun (sungai Amu Daria dan Sir Daria), Negara Pakistan, Afghanistan, India, Bangladesh, Turki, Albania, Bosnia dan lain-lain.
Dalam bidang ideologi, mayoritas pengikut madzhab Hanafi mengikuti madzhab al-Maturidi. Sedangkan ideologi madzhab al-Maturidi sama dengan ideologi madzha al-Asy’ari. Antara keduanya memang terjadi perbedaan dalam beberapa masalah, tetapi perbedaan tersebut hanya bersifat verbalistik (lafzhi), tidak bersifat prinsip dan substantif (haqiqi dan ma’nawi). Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa pengikut madzhab al-Maturidi adalah pengikut madzhab al-Asy’ari juga. Demikian pula sebaliknya, pengikut madzhab al-Asy’ari adalah pengikut madzhab al-Maturidi juga. Dalam hal tersebut al-Imam Tajuddin as-Subki mengatakan, “Mayoritas pengikut Hanafi adalah pengikut madzhab al-Asy’ari, kecuali sebagian kecil yang mengikuti Mu’tazilah.”

Madzhab Maliki

Madzhab Maliki ini dinisbahkan kepada pendirinya, al-Imam Malik bin Anas al-Ashbahi (93-179 H/712-795 M). Madzhab ini diikuti oleh mayoritas kaum muslimin di Negara-negara Afrika, seperti Libya, Tunisia, Maroko, Aljazair, Sudan, Mesir, dan lain-lain. Dalam bidang teologi, seluruh pengikut madzhab Maliki mengikuti madzhab al-Asy’ari tanpa terkecuali. Berdasarkan penelitian al-Imam Tajuddin as-Subki, belum ditemukan di kalangan pengikut madzhab Maliki, seorang yang mengikuti selain madzhab al-Asy’ari.

Madzhab Syafi’i

Madzhab Syafi’i ini didirikan oleh al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (150-204 H/767-820 M). Madzhab Syafi’i ini diakui sebagai madzhab fiqh terbesar jumlah pengikutnya di seluruh dunia. Tidak ada madzhab fiqh yang memiliki jumlah begitu besar seperti madzhab Syafi’i, yang diikuti oleh mayoritas kaum Muslimin Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia. Filipina, Singapura, Thailand, India bagian Selatan seperti daerah Kirala dan Kalkutta, mayoritas Negara-negara Syam seperti Syiria, Yordania, Lebanon, Palestina, sebagian besar penduduk Kurdistan, Kaum Sunni di Iran, mayoritas penduduk Mesir dan lain-lain.
Dalam bidang ideologi, mayoritas pengikut madzhab Syafi’i mengikuti madzhab al-Asy’ari sebagaimana
ditegaskan oleh al-Imam Tajuddin as-Subki, kecuali beberapa gelintir tokoh yang mengikuti faham Mujassimah dan Mu’tazilah.


Madzhab Hanbali

Madzhab Hanbali ini didirikan oleh al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal al-Syaibani
(164-241 H/780-855 M). Madzhab Hanali ini adalah madzhab yang paling sedikit jumlah pengikutnya,
karena tersebarnya madzhab ini berjalan setelah madzhab-madzhab lain tersosialisasi dan mengakar di
tengah masyarakat. Madzhab ini diikuti oleh mayoritas penduduk Najd, sebagian kecil penduduk Syam dan Mesir. Dalam bidang ideologi, mayoritas ulama Hanbali yang utama (fudhala ’), pada abad pertengahan dan sebelumnya, mengikuti madzhab al-Asy’ari. Di antara tokoh-tokoh madzhab Hanbali yang mengikuti madzhab al-Asy’ari ialah al-Imam ibn Sam’un al-Wa’izh, Abu Khaththab al-Kalwadzani, Abu al-Wafa bin ‘Aqil, al-Hafizh ibn al-Jawzi dan lain-lain.
Namun kemudian sejak abad pertengahan terjadi kesenjangan hubungan antara pengikut madzhab
al-Asy’ari dengan pengikut madzhab Hanbali. Berdasarkan penelitian al-Hafizh ibn Asakir al-Dimasyqi, pada awal-awal metamorfosa berdirinya madzhab al-Asy’ari, para ulama Hanbali bergandengan tangan dengan para ulama al-Asy’ari dalam menghadapi kelompok-kelompok ahli id’ah seperti Mu’tazilah, Syi’ah, Khawarij, Murji’ah dan lain-lain. Ulama Hanbali dalam melawan argumentasi kelompok-kelompok ahli bid’ah, biasanya menggunakan senjata argumentasi ulama al-Asy’ari. Dalam bidang teologi dan ushul fiqh, para ulama Hanbali memang belajar kepada ulama madzhab al-Asy’ari. Hingga akhirnya  terjadi perselisihan antara madzhab al-Asy’ari dan madzhab Hanbali pada masa al-Imam Abu Nashr al-Qusyairi dan pemerintahan Perdana Menteri Nizham al-Mulk. Sejak saat itu, mulai terpolarisasi kebencian antara pengikut madzhab al-Asy’ari dan madzhab Hanbali. (2)

Dalam catatan sejarah diterangkan, bahwa al-Imam abu al-Hasan al-Asy’ari sendiri memiliki hubungan akrab dan jalinan persaudaraan yang erat dengan para ulama Bani Tamim di Baghdad yang mengikuti madzhab Hanbali. Para ulama Bani Tamim tersebut adalah nenek moyang al- Imam Abu Muhammad Rizqullah bin Abdul Wahhab al-Tamimi al-Baghdadi, ulama madzhab Hanbali terkemuka pada masanya. Dari hubungan erat antara al-Asy’ari dengan keluarga Bani Tamim, pada akhirnya berlanjut pada masuknya ulama-ulama Hanbali dari Bani Tamim ke dalam madzhab al-Asy’ari seperti al-Imam Abu al-Khaththab al-Kalwadzani. Jalinan erat dan hamonis antara al-Asy’ari dengan Bani Tamim tersebut, berlanjut hingga periode murid-murid mereka(3).

Al-Imam al-Syarif abu Ali al-Hasyimi al-Hanbali berkata: “Aku menghadiri rumah guru kami, al-Imam abu al-Hasan Abdul Aziz bin al-Harits al-Tamimi al-Hanbali pada tahun 370 H, dalam suatu jamuan yang diadakan untuk murid-murid beliau (pengikut madzhab Hanbali). Jamuan tersebut dihadiri oleh Abu Bakar al-Abhari (guru ulama madzhab Maliki), Abu al-Qasim al-Daraki (guru ulama madzhab Syafi’i), abu al-Hasan Thahir bin al-Hasan (guru ulama ahli hadits), abu al-Husain bin Sam’un al-Asy’ari (guru para zahid dan wa’izh), abu Abdillah bin Mujahid (guru para teolog), dan muridnya Abu Bakar al- Baqillani, di rumah guru kami, abu al-Hasan al-Tamimi (guru ulama Hanbali).”
Abu ali al-Hasyimi berkata: “Andaikan atap rumah tersebut jatuh menimpa mereka, maka di Iraq tidak
ada seorang pun yang sederajat dengan mereka dalam berfatwa.”
Riwayat di atas menggambarkan terjalinnya hubungan yang sangat mesra antara ibn Mujahid dan ibn
Sam’un (yang merupakan pakar teologi dan murid al-Asy’ari) dengan Abu al-Hasan al-Tamimi, tokoh
terkemuka ulama Hanbali pada masanya. Hubungan mesra tersebut berlanjut hingga masa al-Baqillani.

Al-Imam Abu Abdillah al-Damaghani meriwayatkan bahwa ketika al-Imam al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani datang ke Baghdad, beliau diundang menghadiri jamuan makan oleh al-Imam Abu al-Hasan al-Tamimi al-Hanbali (guru ulama Hanbali di Baghdad pada masanya). Dalam acara jamuan itu, turut pula hadir al-Imam Abu Abdillah bin Mujahid (teolog dan murid al-Asy’ari), al-Imam ibn Sam’un al-Hanbali dan Abu al-Hasan al-Tamimi sendiri. Dalam pertemuan tersebut, akhirnya terjadi perdebatan sengit tentang masalah ijtihad antara al-Baqillani dengan ibn Mujahid. Perdebatan tersebut baru
selesai setelah fajar shubuh menyingsing dengan kemenangan di pihak al-Baqillani. Melihat kehebatan al-Baqillani dalamkeilmuannya, al-Imam abu al-Hasan al-Tamimi berkata kepada murid-muridnya, “Ikutilah laki-laki ini (al-Baqillani). Karena sunnah selalu membutuhkannya.”
Hubungan mesra antara madzhab Hanbali dengan madzhab al-Asy’ari pada masa al-Baqillani juga ditandai dengan pengakuan al-Imam abu al-Fadhl al-Tamimi al-Hanbali yang mengatakan, “Aku tidur bersama al-Qadhi abu al-Thayyib al-Baqillani di atas satu bantal selama tujuh tahun.” Bahkan ketika al-Imam al-Baqillani wafat, al-Imam abu al-Fadhl al-Tamimi melakukan ta’ziyyah bersama keluarga dan murid-muridnya agar mengumumkan di depan jenazah al-Baqillani, “Inilah ulama pembela sunnah dan agama. Inilah imam kaum Muslimin. Inilah orang yang membela syariat dari tuduhan para penentang. Inilah orang yang mengarang tujuh puluh ribu halaman kitab sebagai bantahan terhadap kaum mulhid (sesat).” Ia bersama murid-muridnya berta’ziyyah selama tiga hari. Dan setelah itu, al-Tamimi secara rutin berziatah ke makam al-Baqillani setiap hari Jum’at. (4)


Pada masa al-Imam Abu Muhammad al-Ashbihani (w. 446 H/1054 M), murid al-Baqillani yang dikenal dengan julukan ibn al-Labban, agaknya terjadi kesenjangan hubungan antara pengikut madzhab al-Asy’ari dengan pengikut madzhab Hanbali. Tetapi kesenjangan hubungan tersebut tidak sampai berpengaruh terhadap hubungan mesra sesame ulama mereka. Ketika al-Imam ibn al-Labban tinggal di Baghdad, al-Qadhi abu Ya’la bin al-Farra’ dan Abu Muhammad al-Tamimi, guru ulama madzhab Hanbali pada masanya, secara diam-diam ikut menghadiri perkuliahan ushul fiqh dan teologi ibn al-Labban di rumahnya. Pada saat itu, Abu Ya’la maupun Abu Muhammad al-Tamimi sama-sama merahasiakan kedatangannya ke rumah ibn al-Labban. Hingga suatu ketika, keduanya bertemu di gang sempit menuju rumah ibn al-Labban. Lalu abu Ya’la bertanya kepada Abu Muhammad, “Kamu mau pergi ke mana?” Abu Muhammad menjawab, “Ke rumah orang yang akanAmda datangi juga.” Abu Ya’la berkata, “Ah, kalau begitu, tolong rahasiakan kedatanganku ke sini. Aku akan merahasiakan juga kedatanganmu.” Akhirnya keduanya sepakat untuk tidak menghadiri lagi perkuliahan al-Imam ibn al-Labban, karena khawatir kalangan awam pengikut Hanbali mengetahui ulah keduanya yang belajar kepada ibn al-Labban al-Asy’ari.(5)


Hubungan mesra antara ulama Hanbali dan ulama al-Asy’ari terjalin sampai masanya al-Imam Abu Nashr al-Qusyairi (w. 514 H/1120 M) dan pemerintahan Perdana Menteri Nizham al-Amulk (408-485 H/1018-1092 M). Sejak saat itu mulailah terjadi polarisasi antara ulama al-Asy’ari dengan ulama Hanbali. Terjadinya polarisasi tersebut seperti diceritakan oleh al-Hafizh Abdul Ghafir al-Farisi (451-529 H/1059-1135 M) dalam kitab al-Siyaq fi Tarikh Naisabur, berawal dari kepribadian al-Imam Abu Nashr al-Qusyairi, yang terkenal sebagai sosok ulama yang wara’, zuhud, ‘alim dan kharismatik. Ketika al-Qusyairi tinggal di Baghdad dan memberikan ceramah di Masjid Jami’, banyak masyarakat yang tertarik dengan ceramahnya. Tidak sedikit dari mereka yang semula berkubang dalam lumpur kemaksiatan, kini kembali bertaubat dan mengikuti kebenaran. Mereka yang semula terjun dalam lumpur ideologi bid’ah, kembali ke ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah begitu mendengar ceramahnya.
Bahkan dalam setiap majelis pengajian yang disampaikannya, tidak jarang kalangan pengikut agama lain
seperti Yahudi, Nasrani dan lain-lain menyatakan masuk Islam di hadapannya. Banyak pula mereka yang semula mengikuti paham mujassimah, berpindah ke madzhab al-Asy’ari. Hal tersebut mengundang
kemarahan dan iri hati kalangan mujassimah yang bermadzhab Hanbali di Baghdad, yang sering tersinggung dengan ceramah al-Qusyairi yang tidak jarang diselingi dengan materi ideology al-Asy’ari dan serangan terhadap ideologi madzhab lain. Hal itu akhirnya mengobarkan kemarahan pengikut Mujassimah untuk melakukan kerusuhan sehingga mengakibatkan jatuhnya Korban jiwa. Sejak saat itu, mulailah terjadi polarisasi antara kaum Mujassimah dari sebagian kalangan pengikut Hanbali dengan pengikut Asy’ari. (6)


Referensi:

1) Tajuddin as-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra, juz 3, (Kairo: al-Halabi), Halaman 366, edisi Abdul
Fattah Muhammad al-Halw dan Mahmud al-Thanahi. Dan Mu’id an-Ni’am wa Mubid an-Niqam (Kairo: al-Khanji, 1993), halaman 75, edisi Muhammad Ali an-Najjar.
2) Al-Hafizh ibn ‘Asakir, Tabyin Kidzb al-Muftari (Damaskus: at-taufiq, 1347 H), halaman 163.
3) Al-Hafizh ibn ‘Asakir, Tabyin Kidzb al-Muftari (Damaskus: at-taufiq, 1347 H), halaman 390.
4) Al-Hafizh ibn ‘Asakir, Tabyin Kidzb al-Muftari (Damaskus: at-taufiq, 1347 H), halaman 221.
5) Al-Hafizh ibn ‘Asakir, Tabyin Kidzb al-Muftari (Damaskus: at-taufiq, 1347 H), halaman 262.
6) Al-Hafizh ibn ‘Asakir, Tabyin Kidzb al-Muftari (Damaskus: at-taufiq, 1347 H), halaman 308.

[Sumber: Madzhab al-Asy'ari Benarkah Ahlussunnah Wal Jama'ah? Jawaban terhadap Aliran Salafi, karya
Muhammad Idrus Ramli]

Oleh : Solihin Gubes
Kaum Sarungan, 19 Mei 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar