Selasa, 19 Februari 2013

BID'AH


A. Al-Imam Izzuddin Abdul Aziz bin Abdissalam, ulama terkemuka dalam madzhab Syafi’i, mendefinisikan bid’ah dalam kitabnya Qawa’id Al-Ahkam sebagai berikut:
 “Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah ”. (Qawa’id Al-Ahkam fi Mashalih Al-Anam, 2/172).

B. Al-Imam Al-Nawawi. Al-Imam Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syarah Al-Nawawi, hafizh dan faqih dalam madzhab Syafi’i, dan karya-karyanya menjadi kajian dunia Islam seperti Syarh Shahih Muslim, Al-
Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, Riyadh Al-Shalihin dan lain-lain, mendefinisikan bid’ah sebagai berikut:
“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang baru yang belum ada pada masa Rasulullah”. (Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughat, ).

Pembagian Bidah

Para ulama membagikan bid
ah menjadi dua macam, yaitu bidah mahmudah (bidah yang terpuji) dan bidah madzmumah (bidah yang tercela). Bidah yang sesuai dengan sunnah Rasul dihukumi terpuji. Sedangkan bidah yang menyalahi sunnah Rasul dihukumi tercela. Berikut akan dikemukakan pembagian bidah oleh para ulama terkemuka:

A. Al-Imam Al-Syafi
i

Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris Al-Syafi
i - mujtahid besar dan pendiri madzhab Syafii yang diikuti oleh mayoritas Ahlussunnah Wal- Jamaah di dunia Islam -, berkata:

Bidah (muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi Al-Quran
atau Sunnah atau Ijma
, dan itu disebut bidah dhalalah (tersesat) . Kedua,sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi Al-Quran, Sunnah dan Ijma dan itu disebut bidah yang tidak tercela. (Al-Baihaqi, Manaqib Al-Syafii, 1/469).

Bahkan Al-Imam Al-Syafi
I menafikan nama bidah terhadap sesuatu yang mempunyai landasan dalam syara meskipun pernah diamalkan oleh salaf. Dalam hal ini beliau berkata:

Setiap sesuatu yang mempunyai dasar dari dalil-dalil syara, maka bukan termasuk bidah meskipun belum pernah dilakukan oleh salaf. Karena sikap mereka yang meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada uzur yang terjadi pada saat itu, atau karena ada amaliah lain yang lebih utama dan atau barangkali hal itu belum diketahui oleh mereka.

B. Al-Imam Ibn Abdilbarr.

Al-Imam Abu Umar Yusuf bin Abdilbarr Al-Namiri Al-Andalusi, hafizh dan faqih bermadzhab
Maliki. Beliau membagi bid
ah menjadi dua. Hal ini dapat kita lihat dengan memperhatikan
pernyataan:

Adapun perkataan Umar, sebaik-baik bidah, maka bidah dalam bahasa Arab adalah menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada. Maka apabila bidah tersebut dalam agama menyalahi sunnah yang telah berlaku, maka itu bidah yang tidak baik, wajib mencela dan melarangnya, menyuruh menjauhinya dan meninggalkan pelakunya apabila telah jelas keburukan alirannya. Sedangkan bidah yang tidak menyalahi dasar syariat dan sunnah, maka itu sebaik-baik bidah. (Al-Istidzkar, 5/152).

C. Al-Imam Al-Nawawi.

Al-Imam Al-Nawawi juga membagi bid
ah pada dua bagian. Ketika membicarakan masalah bidah, dalam kitabnya Tahdzib Al-Asma wa al-Lughat (3/22), beliau mengatakan:

Bidah terbagi menjadi dua, bidah hasanah (baik) dan bidah qabihah (buruk).
Dalam Syarh Shahih Muslim dan Raudhat Al-Thalibin, Al-Imam Al-Nawawi membagi bid
ah tidak hanya menjadi dua bagian, bahkan beliau juga membagi bidah menjadi lima hukum sesuai dengan alur yang diikuti oleh mayoritas ulama.

D. Al-Hafizh Ibn Al-Atsir Al-Jazari.

Al-Imam Al-Hafizh Ibn Al-Atsir Al-Jazari, pakar hadits dan bahasa, juga membagi bid
ah menjadi dua bagian; bidah hasanah (baik) dan bidah sayyiah (buruk) . Dalam kitabnya, Al-Nihayah fi Gharib Al-Hadits wa Al-Atsar, beliau mengatakan:

Bidah ada dua macam; bidah huda (sesuai petunjuk agama) dan bidah dhalal (sesat). Maka
bid
ah yang menyalahi perintah Allah dan Rasulullah, tergolong bidah tercela dan ditolak. Dan
bid
ah yang berada di bawah naungan keumuman perintah Allah dan dorongan Allah dan Rasul-Nya, maka tergolong bidah terpuji. Sedangkan bidah yang belum pernah memiliki kesamaan seperti semacam kedermawanan dan berbuat kebajikan, maka tergolong perbuatan yang terpuji dan tidak mungkin hal tersebut menyalahi syara.

E. Al-Hafizh Ibn Al-Arabi Al- Maliki.

Al-Imam Al-Qadhi Abu Bakar Ibn Al-
Arabi Al-Maliki, seorang hafizh, mufassir dan faqih
madzhab Maliki, juga membagi bid
ah menjadi dua bagian. Dalam kitabnya Aridhat Al-Ahwadzi Syar:

Umar berkata: Ini sebaik-baik bidah. Bidah yang dicela hanyalah bidah yang menyalahi
Sunnah. Perkara baru (muhdats) yang dicela adalah yang mengajak pada kesesatan
.

F. Al-Imam Izzuddin bin Abdissalam.

Bahkan Al-Imam Izzuddin bin Abdissalam membagi bid
ah menjadi lima bagian. Dalam pandangan beliau bidah itu terbagi menjadi lima bagian; bidah wajibah, bidah mandubah (sunnat), bidah mubahah, bidah makruhah dan bidah muharramah (haram). Dalam hal ini beliau mengatakan:

Bidah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah . Bidah terbagi menjadi lima; bidah wajibah, bidah muharramah, bidah mandubah, bidah makruhah dan bidah mubahah. Dan jalan untuk mengetahui hal itu adalah dengan membandingkan bidah pada kaedah-kaedah syariat. Apabila bidah itu masuk pada kaedah wajib, maka menjadi bidah wajibah. Apabila masuk pada kaedah haram, maka bidah muharramah. Apabila masuk pada kaedah sunat, maka bidah mandubah. Dan apabila masuk pada kaedah mubah, maka bidah mubahah.
Bid
ah wajibah memiliki banyak contoh. Salah satunya adalah menekuni ilmu nahwu sebagai
sarana memahami Al-Quran dan Sunnah Rasulullah . Hal ini hukumnya wajib, karena menjaga
syariat itu wajib dan tidak mungkin dapat menjaganya tanpa mengetahui ilmu nahwu. Sedangkan sesuatu yang menjadi sebab terlaksananya perkara wajib, maka hukumnya wajib.
Kedua, berbicara dalam jarh dan ta
dil untuk membedakan hadits yang shahih dan yang lemah.
Bid
ah muharramah memiliki banyak contoh, di antaranya bidah ajaran orang-orang Qadariyah, Jabariyah, Murjiah dan Mujassimah. Sedangkan menolak terhadap bidah-bidah tersebut termasuk hukumnya wajib
Bid
ah mandubah memiliki banyak contoh, di antaranya mendirikan sekolah-sekolah dan setiap kebaikan yang pernah dikenal pada abad pertama, dan di antaranya shalat tarawih.
Bid
ah makruhah memiliki banyak contoh, di antaranya memperindah bangunan masjid dan menghiasi mushhaf Al-Quran.
Bid
ah mubahah memiliki banyak contoh, di antaranya menjamah makanan dan minuman yang
lezat-lezat, pakaian yang indah, tempat tinggal yang mewah, memakai baju kebesaran dan lain-lain.
(Qawaid Al-Ahkam fi Mashalih Al-Anam, 2/133)
Pandangan Al-Imam Izzuddin bin Abdissalam ini yang membagi bid
ah menjadi lima bagian
dianggap sebagai pandangan yang final dan diikuti oleh mayoritas ulama terkemuka dari kalangan fuqaha dan ahli hadits.

G. Ibn Hajar Al-Asqalani.

Al-Imam Ibn Hajar Al-
Asqalani, hafizh dan faqih bermadzhab Syafii. Beliau membagi bidah
menjadi dua, bahkan menjadi lima bagian. Dalam kitabnya Fath Al-Bari, beliau mengatakan:

Secara bahasa, bidah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya.
Dalam syara
, bidah diucapkan sebagai lawan sunnah, sehingga bidah itu pasti tercela. Sebenarnya, apabila bidah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik menurut syara, maka disebut bidah hasanah. Bila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk menurut syara, maka disebut bidah mustaqbahah (tercela). Dan bila tidak masuk dalam naungan keduanya, maka menjadi bagian mubah (boleh). Dan bidah itu dapat dibagi menjadi lima hukum. Fath Al- Bari, 4/253).

H. Al-Imam Al-Aini.

Al-Imam Badruddin Mahmud bin Ahmad Al-
Aini, hafizh dan faqih bermadzhab Hanafi membagi bidah menjadi dua bagian. Beliau mengatakan:

Bidah pada mulanya adalah mengerjakan sesuatu yang belum pernah ada pada masa Rasulullah. Kemudian bidah itu ada dua macam. Apabila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik oleh syara, maka disebut bidah hasanah. Dan apabila masuk di bawah naungan sesuatu yang dianggap buruk oleh syara, maka disebut bidah tercela. (Umdat Al-Qari, 11/126).

I. Al-Imam Al-Shanani.

Al-Imam Muhammad bin Isma
il Al-Shanani, muhaddits dan faqih bermadzhab Zaidi, juga membagi bidah menjadi lima. Dalam kitabnya Subul Al-Salam Syarh Bulugh Al-Maram, beliau mengatakan:

Bidah menurut bahasa adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya.
Yang dimaksud bid
ah di sini adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa didahului pengakuan syara
melalui Al-Quran dan Sunnah. Dan ulama telah membagi bid
ah menjadi lima bagian: 1) bidah
wajib seperti memelihara ilmu-ilmu agama dengan membukukannya dan menolak terhadap kelompok-kelompok sesat dengan menegakkan dalil-dalil, 2) bid
ah mandubah seperti membangun madrasah-madrasah, 3) bidah mubahah seperti menjamah makanan yang bermacam-macam dan baju yang indah, 4) bidah muharramah dan 5) bidah makruhah, dan keduanya sudah jelas contoh-contohnya. Jadi hadits semua bidah itu sesat, adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. (Subul Al-Salam, 2/48).

J. Al-Imam Al-Syaukani.

Al-Imam Muhammad bin Ali Al-Syaukani, hafizh dan faqih bermadzhab Zaidi, juga membagi bid
ah menjadi dua, bahkan menjadi lima bagian. Dalam kitabnya Nail Al-Authar (3/25), beliau mengutip pernyataan Al- Hafizh Ibn Hajar dalam Fath Al-Bari tanpa memberinya komentar.

Kesimpulan: dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa para ulama terkemuka dalam setiap
kurun waktu mulai dari Al-Imam Al-Syafi
i, Ibn Abdilbarr, Ibn Al-Arabi, Ibn Al-Atsir, Izzuddin
bin Abdissalam, Al-Nawawi, Al-Hafizh Ibn Hajar, Al-
Aini, Al-Shanani, Al-Syaukani dan masih banyak ulama-ulama lain yang tidak dikutip di sini, membagi bidah menjadi dua bagian, yaitu bidah hasanah dan bidah madzmumah. Dan bahkan lebih rinci lagi, bidah itu dapat dibagi menjadi lima bagian sesuai dengan jumlah hukum-hukum yang berlaku dalam agama.

Oleh : Solihin Gubes
Kaum Sarungan, 8 Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar