Senin, 18 Februari 2013

Hadist Dhoif


Pertanyaan : MENGAPA SEBUAH HADIST BISA DIKATAKAN/DIHUKUMI DHOIF...???

Jawaban :
Dha'if atau lemah ialah Hadits yang derajatnya kurang sedikit dari Hadits shahih atau hadits Hasan.
Hal ini dapat dicontohkan umpamanya kepada sebuah hadits Nabi, kemudian turun kepada Mansur, turun lagi kepada Zeid, turun lagi kepada Khalid dan akhirnya turun kepada Ibnu Majah atau Abu Daud.
Ibnu Majah atau Abu Daud membukukan Hadits itu dalam kitabnya.

Kalau orang bertiga tersebut, yaitu Mansur, Zeid, dan Khalid terdiri dari orang baik-baik, dengan arti baik perangainya, saleh orangnya, tidak pelupa hafalannya, maka Haditsnya itu dinamai Hadits shahih.
Tetapi kalau ketiganya atau salah seorang dari padanya terkenal dengan akhlaknya yg kurang baik, umpanya pernah makan dijalanan, pernah buang air kecil berdiri, pernah suka lupa akan hafalannya, maka Haditsnya dinamai Hadits dha'if(lemah).

Pada hakikatnya Hadits yang semacam ini adalah dari Nabi juga, tetapi ''sanadnya'' kurang baik. Bukan Haditsnya yang kurang baik, Ada lagi yang menyebabkan Hadits itu menjadu dha'if, ialah hilang salah seorang daripada rawinya. Umpamanya seorang Tabi'in yang tidak berjumpa dengan Nabi mengatakan: Berkata Rasulullah, padahal ia tidak berjumpa dengan Nabi.

Hadits ini dinamai Hadits Mursal, yaitu Hadits yang dilompatkan ke atas tanpa melalui jalan yang wajar. Hadits ini ialah dha'if juga.

Pertanyaan : Jadi intinya semua hadis tidak ada yang dhoif, terus jika berpegang pada hadis2 sohih saja bagaimana ?

Jawaban :
Tentang memakai Hadits dha'if untuk dijadikan dalil, terdapat perbedaan pendapat di antara Imam-imam Mujtahid, yaitu:

a. Dalam madzhab Syafi'i Hadits dha'if tidak dipakai untuk dalil bagi penegak hukum, tetapi dipakai untuk dalil bagi ''fadhailul a'mal''
Fadhailul A'amal maksudnya ialah amal ibadat yang sunat-sunat, yang tidak bersangkut dengan orang lain, sperti dzikir, do'a, tasbih, wirid dan lainnya. Hadits Mursal tidak dipakai juga bagi penegak hukum dalam madzhab Syafi'i karena Hadits Mursal juga Hadits dha'if. Tetapi dikecualikan mursalnya seorang Tabi'in bernama Said Ibnul Musayyab.

b. Dalam madzhab Hambali lebih longgar. Hadits dha'if bukan saja dipakai dalam Fadhailul A'mal, tetapi juga bagi penegak hukum, dengan syarat dha'ifnya itu tidak keterlaluan.

c. Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad memakai Hadits yang dha'if karena mursal, baik untuk Fadhailul A'amal maupun bagi penegak hukum.

dalam madzhab Syafi'i lebih keras dibanding dengan madzhab-madzhab yang lain dalam soal memakai hadits dha'if. Hadits dha'if tidak dipakai menjadi sumber hukum haram dan halal, kecuali menjadi sumber hukum untuk fadlailul a'amal,dan terkecuali juga kalau hadits dha'if sudah naik derajatnya kepada hadits HASAN LIGHAIRIHI, karena isinya disokong atau dibantu oleh hadits-hadits yang sahih.
Hadits-hadits Nabi itu memang banyak sekali, ratusan ribu, karena 23 tahun lamanya Nabi Muhammad menjadi Rasul. Semua ucapan beliau, semua perbuatan yang tidak khusus bagi beliau dan semua ketetapan beliau dalam masa 23 tahun itu menjadi sumber hukum dalam syari'at Islam yang wajib diikuti dan dipatuhi.

Dalam masa 23 tahun itu semua ucapan Nabi, semua perbuatan Nabi, semua ketetapan Nabi didengar, dilihat dan dipelihara baik-baik dalam hati seluruh sahabat-sahabat Nabi yang selalu berkumpul sekeliling Nabi.

Hadits-hadits Nabi itu pada mulanya tidak dituliskan, melainkan hanya dihafal dan disimpan dalam hati oleh para sahabat, karena yang dituliskan ketika itu hanyalah ayat-ayat Qur'an saja.

Sahabat-sahabat sengaja tidak menuliskan hadits-hadits itu karena akan campur aduk dengan Al-Qur'an yang semuanya dituliskan.

Sahabat-sahabat yang mendengar hadits-hadits itu menyampaikan pula apa yang didengarnya dari Nabi kepada para sahabat yang tidak ada ketika itu bersama Nabi, dan kemudian sahabat-sahabat yang mendengar ini menyampaikan pula dengan baik kepada generasi yang kedua, yaitu para Tabi'in(orang-orang yang tidak berjumpa dengan Nabi.)
Dari Tabi'in hadits-hadits itu diturunkan pula kepada Tabi' Tabi'in, yaitu generasi yang ketiga, yaitu orang-orang yang berjumpa dengan orang-orang yang telah berjumpa dengan sahabat Nabi.

Barulah dalam permulaan abad ketiga, Imam Muhammad bin Ismail al Bukhari menuliskan hadits-hadits yang sampai kepada beliau dalam Kitab Haditsnya yang kemudian bernama Hadits Bukhari (lahir 194 wafat 256 H.)

Jadi menuliskan dan membukukan hadits-hadits itu adalah 'bid'ah' (pekerjaan yang dibuat kemudian, yang tidak ada contohnya pada masa Nabi.), tetapi 'bid'ah hasanah'' (bid'ah yang baik) bukan bid'ah yang tercela).

Kemudian datang Imam-imam Hadits yang lain yang menuliskan pula dalam bukunya masing-masing sekalian Hadits yang sampai kepadanya, di antaranya Imam Muslim (wafat 261 H.) Imam Daud (wafat 275 H), Imam Nasai (wafat 302 H.), Imam Ibnu Majah (wafat 273 H), Tirmidzi (wafat 275 H) dan lain-lain.

Imam-imam Hadits ini sangat berat pekerjaannya karena beliau harus meneliti si rawi hadits-hadits itu satu persatu, yakni dari Nabi kepada siapa, kepada siapa lagi dan seterusnya.

Oleh karena itu timbullah di kalangan ummat Islam sebuah ilmu baru yang dinamakan ilmu Mustalah Hadits.
Orang-orang ini satu persatu diteliti keadaannya, sifatnya, hapalannya, tabi'atnya dan lain-lain sebagainya.

Pertanyaan : saya pernah baca ulama' ahli hadis, fukohak dan lainnya sepakat, boleh/mustahab mengamalkan hadis dhoif dalam hal Dadilah amal???

Jawaban :
Adapun juga berkata dalam kitab Al Adzkaar: Artinya: ''Berkata Ulama-ulama Ahli-ahli Hadits dan Ahli-ahli Fiqih, boleh dan bahkan sunat beramal dalam FADLAILUL A'MAAL, dalam Targhib dan Tarhib dengan Hadits dha'if, selama hadits dha'if itu tidak maudhu'/PALSU.

Adapun dalam hukum halal-haram, jual beli, nikah, thalaq dan lain-lain tidak boleh beramal, kecuali dengan Hadits Shahih atau Hadits Hasan.''Al Adzkaar:halaman 7".

Pertanyaan : Loh kok bisa begitu, Memangnya Hadist2 itu ada berapa unsur???






Jawaban :

Suatu hadits mengandung tiga unsur, yakni rawi (yang meriwayatkan), sanad (sandaran), dan matan (teks).

Rawi (jamaknya ruwat) ialah orang yang menyampaikan atau menuliskan hadits dalam suatu kitab yang pernar didengarnya atau diterima dari seseorang(gurunya). Menyampaikan hadits disebut merawikan hadits.

Seringkali sebuah hadits diriwayatkan oleh bukan hanya satu rawi, akan tetapi oleh banyak rawi. Untuk itu biasanya para penyusun kitab hadits tidak menyebutkan nama-nama rawi seluruhnya, melainkan hanya merumuskan dengan bilangan rawi pada akhir matan hadits dengan ungkapan ''akhrajahu atau rawahu...''(diriwayatkan).

Pertanyaan : Memangnya ciri2 / tanda2 nya suatu hadis maudhu' dan hadis dhoif itu bagaimana ?

Jawaban :
''Maudhu' (hadits palsu) ialah suatu yang dinisbahkan kepada Nabi SAW, tetapi sesungguhnya itu bukan merupakan perkataan, perbuatan, atau takrir Nabi SAW. Meskipun ada yang berpendapat bahwa hadits maudhu' sudah ada sejak masa Nabi SAW, namun jumhur(mayoritas) ahli hadits berpendapat bahwa hadits maudhu' mulai terjadi masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, baik karena ketegasan dan kehati-hatian periwayatan hadits dimasa kekhalifahan sebelumnya maupun situasi politik di masa Ali, di mana perbenturan berbagai kepentingan semakin meningkat.

Di antara ciri-ciri hadits maudhu' ialah: (1) matan hadits tidak sesuai dengan fasafah (kefasihan bahasa, kebaikan, kelayakan, dan kesopanan) bahasa Nabi SAW; (2) bertentangan dengan Al-Qur'an, akal, dan kenyataan; (3) rawinya dikenal sebagai pendusta; (4) pengakuan sendiri dari pembuat hadits palsu tersebut; (5) ada petunjuk bahwa di antara rawinya terdapat pendusta; dan (6) rawi menyangkal bahwa ia pernah memberikan riwayat kepada orang yang membuat hadits palsu tersebut...:')

Diambil dari Grup Al_Burdah

Oleh : Ilham Sandy Firtha
Kaum Sarungan, 12 Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar