ketika tersisa sepertiga malam terakhir, dengan berfirman : “Barangsiapa yang berdo’a kepada-Ku, maka Aku akan mengabulkannya, barangsiapa yang bermohon kepada-Ku, maka Aku memberikannya dan barangsiapa yang minta ampun kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Imam
Nawawi dalam mengomentari hadits ini, beliau mengatakan, bahwa hadist ini termasuk
hadits-hadits tentang sifat Allah. Dalam memahaminya terdapat dua mazhab masyhur
di kalangan ulama, yaitu :
Pertama: Mazhab mayoritas ulama Salaf dan sebagian ulama ahli Kalam, yaitu dengan mengimaninya bahwa hal itu adalah suatu yang hak dengan makna yang sesuai bagi keagungan Allah dan bahwa makna zhahirnya yang berlaku pada makhluk adalah makna yang bukan dimaksudkan. Mazhab pertama ini tidak membicarakan penakwilannya. Namun mereka semua berkeyakinan bahwa Allah Maha Suci dari sifat-sifat makhluk, Maha Suci dari pindah dari suatu tempat ke tempat lain, Maha Suci dari bergerak, dan Maha Suci dari seluruh sifat-sifat makhluk.
Kedua: Mazhab mayoritas ulama ahli Kalam dan beberapa golongan dari para ulama Salaf, di antaranya sebagaimana telah diceritakan dari Malik dan al-Auza’i, bahwa mereka telah melakukan takwil terhadap hadits ini dengan menentukan makna yang sesuai dengan ketentuan-ketentuannya. Dalam penggunaan metode takwil ini, para ulama mazhab kedua ini memiliki dua takwil terhadap Hadits al-Nuzul di atas.
Pertama;
Takwil yang nyatakan oleh Malik dan lainnya bahwa yang dimaksud hadits tersebut
adalah turunnya rahmat Allah, dan perintah-Nya, serta turunnya para Malaikat
pembawa rahmat tersebut. Ini biasa digunakan dalam bahasa Arab; seperti bila
dikatakan: “Fa’ala al-Sulthan Kadza…” (Raja melakukan suatu perbuatan), maka
yang dimaksud adalah perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya dengan perintahnya)
Kedua; takwil hadits dalam makna isti’arah (metafora), yaitu dalam pengertian bahwa Allah mengaruniakan dan mengabulkan segala permintaan yang dimintakan kepada-Nya saat itu. (syarah muslim juz 3 hal 96)
Kedua; takwil hadits dalam makna isti’arah (metafora), yaitu dalam pengertian bahwa Allah mengaruniakan dan mengabulkan segala permintaan yang dimintakan kepada-Nya saat itu. (syarah muslim juz 3 hal 96)
Perbedaan
pendapat para ulama di atas, merupakan konsekwensi dari perbedaan dalam
memahami maksud dari firman Allah Q.S. Ali Imran : 7, : Dia-lah yang menurunkan
Al-Kitab (Al-Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang
muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka
mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat dari padanya untuk
menimbulkan fitnah dan mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang
mengetahui ta'wilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya yang
berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyaabihaat, semuanya itu dari
sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (Q.S. Ali Imran : 7)
Ulama yang
mengatakan bahwa penggalan firman Allah,"wa maa ya'lamu ta'wiilahu
illallaah warrosikhuuna fil'ilmi yaquuluuna aamannaa bihi kullu min
'indillaah..
diwaqaf pada perkataan “illallahu ” dan sedangkan perkataan “warrasikhuuna ” merupakan
permulaan kalam lain, menyikapi ayat-ayat mutasyabihaat dan demikian juga hadits-hadits
mutasyabihaat sebagaimana pendapat mazhab pertama. Makna penggalan ayat di atas menurut
mazhab ini adalah : “Tidak diketahui ta’wilnya kecuali oleh Allah. Sedangkan orang-orang yang
mendalam ilmunya, mereka mengatakan, kami beriman dengan ayat mutasyabihaat, semuanya itu datang dari Tuhan kami.”
Sedangkan ulama yang mengatakan tidak terjadi waqaf pada perkataan ““illallahu ” dan sementara itu huruf “wau” pada perkataan “warrasikhuuna ” merupakan huruf ’athaf, menyikapi ayat-ayat mutasyabihaat dan demikian juga hadits-hadits mutasyabihaat sebagaimana pendapat mazhab kedua. Makna penggalan ayat di atas menurut mazhab kedua ini adalah : “Tidak diketahui ta’wilnya kecuali oleh Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya yang mengatakan, kami beriman dengan ayat mutasyabihaat, semuanya itu datang dari Tuhan kami.”
Penjelasan seperti ini, telah dijelaskan oleh Zakariya al-Anshari dalam Ghayatul Wushul.
diwaqaf pada perkataan “illallahu ” dan sedangkan perkataan “warrasikhuuna ” merupakan
permulaan kalam lain, menyikapi ayat-ayat mutasyabihaat dan demikian juga hadits-hadits
mutasyabihaat sebagaimana pendapat mazhab pertama. Makna penggalan ayat di atas menurut
mazhab ini adalah : “Tidak diketahui ta’wilnya kecuali oleh Allah. Sedangkan orang-orang yang
mendalam ilmunya, mereka mengatakan, kami beriman dengan ayat mutasyabihaat, semuanya itu datang dari Tuhan kami.”
Sedangkan ulama yang mengatakan tidak terjadi waqaf pada perkataan ““illallahu ” dan sementara itu huruf “wau” pada perkataan “warrasikhuuna ” merupakan huruf ’athaf, menyikapi ayat-ayat mutasyabihaat dan demikian juga hadits-hadits mutasyabihaat sebagaimana pendapat mazhab kedua. Makna penggalan ayat di atas menurut mazhab kedua ini adalah : “Tidak diketahui ta’wilnya kecuali oleh Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya yang mengatakan, kami beriman dengan ayat mutasyabihaat, semuanya itu datang dari Tuhan kami.”
Penjelasan seperti ini, telah dijelaskan oleh Zakariya al-Anshari dalam Ghayatul Wushul.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa berdasarkan pemahaman pertama, maka
ayat-ayat dan hadits mutasyabihaat hanya diketahui maknanya oleh Allah
semata-mata. Karena itu, kita menyerahkan hanya kepada Allah maksudnya serta beri’tiqad
ayat dan hadits tersebut tidaklah bermakna zhahirnya yang ma’ruf di sisi
manusia, yaitu bersifat dengan sifat makhluq. Mazhab ini biasa dikenal sebagai mazhab
tafwizh (menyerahkan maknanya hanya kepada Allah)
Kemudian, berdasarkan pemahaman kedua, maka ayat-ayat dan hadits mutasyabihaat, selain
tentunya diketahui oleh Allah, juga dapat diketahui ta’wilnya oleh ulama-ulama yang mendalam
ilmunya. Ta’wil tersebut adalah penta’wilan yang sesuai dengan sifat keagungan Allah Ta’ala,
dimana ta’wilnya dikembalikan kepada ayat muhkamaat, bukan ta’wil dengan hawa nafsunya
sebagaimana penggalan ayat sebelumnya, berbunyi : “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat dari padanya untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari ta'wilnya.”
Mazhab ini biasa dikenal sebagai mazhab ta’wil.
Kemudian, berdasarkan pemahaman kedua, maka ayat-ayat dan hadits mutasyabihaat, selain
tentunya diketahui oleh Allah, juga dapat diketahui ta’wilnya oleh ulama-ulama yang mendalam
ilmunya. Ta’wil tersebut adalah penta’wilan yang sesuai dengan sifat keagungan Allah Ta’ala,
dimana ta’wilnya dikembalikan kepada ayat muhkamaat, bukan ta’wil dengan hawa nafsunya
sebagaimana penggalan ayat sebelumnya, berbunyi : “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat dari padanya untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari ta'wilnya.”
Mazhab ini biasa dikenal sebagai mazhab ta’wil.
Dengan
demikian, pendapat kaum Musyabbihah dan Mujassimah jelas batil ketika mereka mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan hadits al-nuzul di atas adalah turunnya Allah dengan
Dzat-Nya. Karena pemahaman seperti ini, berkonsekwensi bahwa Allah berpindah
dari suatu tempat ketempat lain, sedangkan berpindah itu merupakan sifat khusus
makhluq, tidak dapat disifatkan kepada Allah. Allah telah berfirman dalam
al-Qur’an, berbunyi :
"laisa
kamitslihi syaiun" yg artinya Allah tdk menyerupai sesuatupun dan pula
penafsiran ala kaum Musyabbihah dan Mujassimah itu tidak dikenal di kalangan
salaful shalih sebagaimana dipahami dari penjelasan Imam Nawawi di atas.
Seorang ahli tafsir terkemuka, Imam al-Qurthubi menyebutkan Hadits al-Nuzul dengan beberapa komentar ulama tentangnya, kemudian beliau menuliskan sebagai berikut:
“Pendapat yang paling baik dalam memaknai Hadits an-Nuzul ini adalah dengan merujuk kepada hadits riwayat an-Nasa-i dari sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri, bahwa Rasulullah bersabda yg Artinya : Sesungguhnya Allah mendiamkan malam hingga lewat paruh pertama dari malam tersebut, kemudian Allah memerintah Malaikat penyeru untuk berseru: Adakah orang yang berdoa?, Maka ia akan dikabulkan. Adakah orang yang meminta ampun?! Maka ia akan diampuni. Adakah orang yang meminta?, Maka ia akan diberi. Hadits ini dishahihkan oleh Abu Muhammad Abd al-Haq. Dan hadits ini telah menghilangkan segala perselisihan tentang Hadits al-Nuzul, sekaligus sebagai penjelasan bahwa yang dimaksud dengan hadits pertama (hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim) adalah dalam makna dibuang mudhaf-nya. Artinya, yang dimaksud dengan hadits pertama tersebut ialah bahwa Malaikat Tuhan kita turun ke langit dunia, yang kemudian Malaikat tersebut menyeru. Pemahaman ini juga dikuatkan dengan adanya riwayat yang menyebutkan dengan dhammah pada huruf ya’ pada kata “Yunzilu”.(tafsir qurthubi juz 4)
Seorang ahli tafsir terkemuka, Imam al-Qurthubi menyebutkan Hadits al-Nuzul dengan beberapa komentar ulama tentangnya, kemudian beliau menuliskan sebagai berikut:
“Pendapat yang paling baik dalam memaknai Hadits an-Nuzul ini adalah dengan merujuk kepada hadits riwayat an-Nasa-i dari sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri, bahwa Rasulullah bersabda yg Artinya : Sesungguhnya Allah mendiamkan malam hingga lewat paruh pertama dari malam tersebut, kemudian Allah memerintah Malaikat penyeru untuk berseru: Adakah orang yang berdoa?, Maka ia akan dikabulkan. Adakah orang yang meminta ampun?! Maka ia akan diampuni. Adakah orang yang meminta?, Maka ia akan diberi. Hadits ini dishahihkan oleh Abu Muhammad Abd al-Haq. Dan hadits ini telah menghilangkan segala perselisihan tentang Hadits al-Nuzul, sekaligus sebagai penjelasan bahwa yang dimaksud dengan hadits pertama (hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim) adalah dalam makna dibuang mudhaf-nya. Artinya, yang dimaksud dengan hadits pertama tersebut ialah bahwa Malaikat Tuhan kita turun ke langit dunia, yang kemudian Malaikat tersebut menyeru. Pemahaman ini juga dikuatkan dengan adanya riwayat yang menyebutkan dengan dhammah pada huruf ya’ pada kata “Yunzilu”.(tafsir qurthubi juz 4)
Al-Hafizh
Ibn Hajar al-Asqalany dalam kitab Fathul Barri menuliskan sebagai berikut: “Abu
Bakar ibn Furak meriwayatkan bahwa sebagian ulama telah memberikan harakat
dhammah pada huruf awalnya; yaitu pada huruf “ya”, (menjadi kata yunzilu) dan
objeknya disembunyikan; yaitu Malaikat. Yang menguatkan pendapat ini adalah hadits riwayat
an-Nasa-i dari jalur al-Aghar dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id, bahwa Rasulullah
bersabda yg Artinya : Sesungguhnya Allah mendiamkan waktu malam hingga lewat
menjadi lewat paruh pertama dari malam tersebut. Kemudian Allah memerintah
Malaikat penyeru untuk berseru: Adakah orang
yang berdoa? Ia akan dikabulkan.(fathul barri juz 3 hal 30).
yang berdoa? Ia akan dikabulkan.(fathul barri juz 3 hal 30).
Allah
bukan benda, dan Dia tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Segala apa yang
terlintas dalam benak manusia tentang Allah maka Dia tidak seperti demikian
itu. Allah
tidak terikat oleh dimensi; ruang dan waktu, Dia ada tanpa tempat dan arah. Allah yang menciptakan arasy dan langit, maka Dia tidak membutuhkan kepada keduanya.
tidak terikat oleh dimensi; ruang dan waktu, Dia ada tanpa tempat dan arah. Allah yang menciptakan arasy dan langit, maka Dia tidak membutuhkan kepada keduanya.
Oleh : Solihin Gubes
Kaum Sarungan, 16 Februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar