Rabu, 22 Mei 2013

Tingkatan Puasa

Rasullah SAW pernah bersabda: “Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga”. (HR: Ahmad, Nasai & Ibnu Majah).

Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin menulis, tingkatan puasa diklasifikasi menjagi tiga yaitu, puasa umum( awam), puasa khusus(khowash), dan puasa khusus yang lebih khusus lagi(khowash al khowash).

Puasa umum adalah tingkatan yang paling rendah yaitu menahan dari makan, minum dan jima’ .

Puasa khusus, disamping menahan tiga hal itu, juga memelihara seluruh anggota tubuh dari perbuatan maksiat atau tercela.

Sedangkan puasa khusus yang lebih khusus adalah puasa hati dari segala kemaksiatan, kehendak
hina, pikiran duniawi, serta mencegah memikirkan apapun yang selain Allah SWT.

Puasa level ketiga adalah puasanya para nabi, shiddiqin, dan muqarrabin . Puasa level kedua adalah puasanya orang-orang salih, sedangkan puasa level pertama adalah puasanya orang kebanyakan.
Karenanya, minimal puasa level kedua yang seharusnya kita raih selama Ramadhan, akan lebih baik jika kita bisa meraih puasa level ketiga.

Selanjutnya Imam al-Ghazali menjelaskan enam hal untuk mencapai kesempurnaan puasa
tingkatan kedua.

Pertama, menahan pandangan dari segala hal yang dicela dan dimakruhkan serta dari tiap-tiap
yang membimbangkan dan melalaikan dari mengingat Allah.
Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa meninggalkan pandangan karena takut kepada Allah, niscaya Allah menganugerahkan padanya keimanan yang mendatangkan kemanisan dalam hatinya.”

Kedua, menjaga lidah dari perkataan sia-sia, berdusta, mengumpat, berkata keji, dan mengharuskan berdiam diri, menggunakan waktu untuk berzikir kepada Allah serta membaca al-
Qur’an. Rasul saw bersabda: “Dua perkara merusakkan puasa yaitu, mengumpat dan berbohong.”

Ketiga, menjaga pendengaran dari mendengar kata-kata yang tidak baik, karena tiap-tiap yang haram diucapkan maka haram pula mendengarnya. Rasulullah saw menjelaskan: “Yang mengumpat dan yang mendengar, berserikat dalam dosa.”

Keempat, mencegah anggota tubuh yang lain dari perbuatan dosa. Seperti mencegah tangan dan kaki dari berbuat maksiat dan mungkar, mencegah perut dari memakan makanan yang syubhat dan haram.

Kelima, tidak berlebih-lebihan dalam berbuka sampai perutnya penuh makanan. Orang yang berbuka secara berlebihan tentu tidak akan dapat memetik manfaat dan hikmah puasa. Bagaimana ia bias mengalahkan musuh Allah dan mengendalikan hawa nafsunya, jika saat berbuka justru memanjakan nafsunya dengan makanan yang berlebihan.

Keenam, hatinya senantiasa diliputi perasaan cemas ( khauf) dan harap ( raja’), karena tidak diketahui apakah puasanya diterima atau tidak oleh Allah. Rasa cemas diperlukan untuk
meningkatkan kualitas puasa, sedangkan penuh harap berperanan dalam menumbuhkan
optimisme. (Disarikan dari Ihya Ulumuddin).

Senada dengan imam Ghozali Ibnu Qudamah membagi puasa menjadi tiga:
A. Puasa orang awam, yaitu sekedar menahan perut dan kemaluan dari keinginannya.

B. Puasa orang khusus, yaitu menahan pandangan, lisan, tangan, kaki, pendengaran, penglihatan dan seluruh anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa.

C. Puasa orang yang lebih khusus, yaitu puasanya kalbu dari keinginan-keinginan yang hina, pemikiran-pemikiran yang menjauhkan dari Allah dan menahan kalbu dari selain Allah
secara total.

[Mukhtashar Minhajul Qashidin:58]


Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta, dan pengamalannya, serta amal kebodohan, maka Allah tidak butuh pada amalannya meninggalkan makan dan minumnya. [Shahih, HR Al Bukhari]

Dari Abu Hurairah ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah berfirman : …maka bila pada hari puasanya seseorang di antara kalian janganlah ia melakukan rafats dan janganlah ia yashkhab (berteriak, ribut), bila seseorang mencacimu atau mengganggumu maka katakanlah: ‘Saya ini orang yang sedang berpuasa…’.” [Shahih, HR Al-Bukhari]

Dari Abu Hurairah dari Nabi ia bersabda: “Janganlah kamu saling mancaci (bertengkar mulut) sementara kamu sedang berpuasa maka bila seseorang mencacimu katakana saja: ‘Sesungguhnya saya sedang berpuasa’, dan kalau kamu sedang berdiri maka duduklah.”


Dari hadits-hadits di atas maka dapat kita simpulkan bahwa pembatal pahala puasa atau yang akan menguranginya adalah sebagai berikut:

1. Qauluz-zur yakni ucapan dusta

2. Mengamalkan qouluz-zur yakni perbuatan yang merupakan tindak lanjut atau konsekuensi dari ucapan dusta

3. Jahl yakni amalan kebodohan

4. Rafats yakni seperti dijelaskan Al-Mundziri: Terkadang kata ini disebutkan dengan makna
bersetubuh, dan terkadang dengan makna, ‘kata-kata yang keji dan kotor’ dan terkadang bermakna ‘pembicaraan seorang lelaki dan perempuan seputar hubungan sex’, dan banyak dari ulama mengatakan: ‘yang dimaksud dengan kata rafats dalam hadits ini adalah ‘kata kotor keji dan jelek’. –

5. Laghwu yakni ucapan yang tidak punya nilai atau manfaat Shakhab yakni bersuara keras dan rebut dikarenakan pertikaian

6. Bertengkar mulut

7. Dalam riwayat lain yang termasuk hal2 yang membatalkan pahala puasa adalah sumpah palsu dan memandang dengan disertai syahwat.

Demikian beberapa hal yang mesti dijauhi saat seseorang sedang berpusa agar pahanya tidak
berkurang atau batal, disamping menjauhi hal-hal yang akan membatalkan puasanya. Dan diantara yang akan mensucikan puasa seseorang dari Laghwu dan rafats diatas adalah ia menunaikan zakat fitrah, sebagaimana tersebut dalam hadits.

Akhirnya...

“Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga”. (HR: Ahmad, Nasai & Ibnu Majah).

Oleh : Solihin Gubes
Kaum Sarungan, 4 Agustus 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar