Rabu, 11 September 2013

Menganggap Sesuatu Sebagai Pembawa Sial



Menganggap Sesuatu Sebagai Pembawa Sial
oleh Siroj Munir

Nomor Urut : 267
Tanggal Jawaban : 11/09/2004

Memperhatikan permohonan fatwa
No. 1938 tahun 2004 yang berisi:

Ada seorang wanita yang menikah
dengan teman sekerjanya. Setelah mereka menikah, keluarga sang suami menganggap wanita tersebut sebagai pembawa sial bagi keluarga mereka, karena mereka terus mengalami cobaan, bencana, sakit, kerugian dan kecelakaan setelah pernikahan itu. Padahal, sebagian dari kejadian buruk itu juga telah terjadi sebelum keduanya menikah, tapi keluarga suaminya tetap bersikeras bahwa dialah pembawa sial itu. Hingga wanita itupun mengalami kerugian yang sangat berat, baik secara materi maupun immateri, karena disebarkannya prasangka dusta tersebut. Mohon penjelasan tentang masalah ini dari sisi syariat dan bagaimana memberikan nasehat kepada orang-orang itu serta hokum mendatangi para tukang ramal dan dukun.

Jawaban : Mufti Agung Prof. Dr. Ali
Jum'ah Muhammad Menganggap adanya pertanda buruk pada sesuatu adalah salah satu tradisi kaum Jahiliyah yang dihapuskan dan dilarang dalam Islam. Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. bahwa Nabi saw. bersabda,

"Tidak ada penularan penyakit dan
tidak ada ramalan sial, tapi saya suka adalah al-fa`l (pernyataan optimis)."

Para sahabat bertanya, "Apakah al-fa`l itu?"

Beliau menjawab,
"Perkataan yang baik. " (Muttafaq alaih).

Juga diriwayatkan dari Qabishah bin
al-Makhariq r.a., ia berkata, "Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda,

"'Iyafah, thiyarah dan tharq adalah
termasuk jibt ." (Abu Dawud dengan sanad hasan).

'Iyafah adalah meramal dengan
nama-nama burung, suaranya dan arah terbangnya. Sedangkan thiyarah, makna asalnya adalah meramal dengan burung, lalu digunakan untuk meramal dengan selain burung. Tharq adalah meramal dengan tongkat atau dengan menggaris di tanah. Jibt adalah semua yang disembah selain Allah, dan digunakan juga untuk menyebut dukun, penyihir, berhala dan sejenisnya.

Diriwayatkan dari Buraidah r.a.
bahwa Nabi saw. tidak pernah menyatakan adanya pertanda buruk
pada sesuatu. (HR. Abu Dawud dengan
sanad shahih).

Diriwayatkan dari Urwah bin 'Amir
r.a., ia berkata, "Pada suatu ketika ada seseorang menyebutkan thiyarah di hadapan Rasulullah saw., maka beliau bersabda,

"Yang paling bagus dari itu adalah
pernyataan optimis. Ramalan buruk tidak menjadi penghalang bagi
seorang muslim untuk melakukan
keinginannya. Jika salah seorang dari kalian melihat sesuatu yang ia benci, maka hendaklah ia berkata, "Ya Allah, tidak ada yang dapat mendatangkan kebaikan selain Engkau, dan tidak ada yang dapat mencegah keburukan kecuali Engkau. Tiada daya dan kuasa selain dengan-Mu. " (HR. Abu Dawud dengan sanad hasan).

Masih banyak lagi hadis-hadis yang
menjelaskan masalah ini. Larangan ini berlaku jika seseorang meyakini bahwa sesuatu yang dianggap mendatangkan sial benar-benar membuat dugaan buruknya menjadi kenyataan tanpa menyandarkan hal itu kepada kekuasan dan kehendak Allah SWT.

Menganggap sesuatu mendatangkan
sial merupakan sikap su'uzhan kepada Allah, sehingga bisa saja kesialan yang dia yakini itu benar-benar terjadi pada dirinya sebagai hukuman Allah akibat kepercayaannya yang menyimpang itu. Semua penjelasan di atas tidak bertentangan dengan hadis Abdullah bin Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,

"Tidak ada penularan penyakit dan
tidak ada ramalan sial, tapi terdapat kesialan pada tiga: kuda, perempuan dan rumah ." (Muttafaq alaih).

Hal itu karena Rasulullah saw. Dalam
hadis ini menjelaskan bahwa maksud kesialan di sini adalah kesialan yang dapat mendatangkan permusuhan dan bencana, bukan seperti anggapan sebagian orang yang meyakini bahwa ketiga hal tersebut dapat membawa sial. Ini sesuai dengan riwayat lain yang disebutkan Hakim dalam al-Mustadrak dari Sa'ad bin Abi Waqqash r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,


" Tiga hal yang membuat bahagia:
istri yang jika kamu lihat menyenangkanmu dan jika kamu tinggalkan maka kamu merasa tenang atas dirinya dan hartamu, hewan tunggangan yang berjalan cepat sehingga dapat membawamu menyusul para rekanmu dan rumah yang luas mempunyai banyak fasilitas. Dan tiga hal yang termasuk kesusahan: istri yang jika kamu lihat maka ia menjengkelkanmu, suka menjelekkanmu dengan mulutnya dan jika kamu tinggalkan kamu tidak tenang atas dirinya dan hartamu, hewan tunggangan yang lambat, jika kamu pukul maka ia akan menurutimu tapi jika kamu biarkan maka ia tidak akan membawamu menyusul para sahabatmu dan rumah yang sempit yang tidak mempunyai banyak fasilitas ."


Adapun mendatangi para peramal dan dukun serta mempercayai bahwa mereka dapat mendatangkan kebaikan atau menolak kejahatan, maka hal itu dilarang oleh syariat. Diriwayatkan dari
Imran bin Hushain r.a. bahwa
Rasulullah saw. bersabda,

" Tidaklah termasuk dalam golongan
kami orang yang meramal atau diramal untuknya, orang yang
melakukan perdukunan atau
meminta perdukunan untuknya, atau orang yang menyihir atau orang yang
meminta disihirkan untuknya.
Barang siapa yang mendatangi seorang dukun dan membenarkan apa yang ia katakan maka ia telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Muhammad saw .." (HR. Bazzar
dengan sanad hasan).

Rasulullah saw. juga menjelaskan
bahwa mendatangi dan membenarkan para tukang ramal dan dukun dapat menghalangi diterimanya amal perbuatan seseorang. Beliau bersabda,

"Barang siapa yang mendatangi
seorang perramal lalu menanyakan sesuatu kepadanya dan membenarkannya maka salatnya tidak akan diterima selama empat puluh malam ." (HR. Muslim dari beberapa istri Nabi saw.).

Dari penjelasan di atas dapat
diketahui bahwa menganggap sang istri mendatangkan kesialan adalah
dilarang dalam syariat Islam. Karena
segala sesuatu berjalan sesuai dengan kekuasaan Allah, sehingga seorang istri tidak mungkin mendatangkan kebaikan atau keburukan bagi seseorang.

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
( Sumber : Fatwa Darul Ifta' Al
Mishriyah )

Oleh : Solihin Gubes
Kaum Sarungan, 18 September 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar