Minggu, 22 September 2013

Makna dan Hakikat Do'a



“Bagaimana mungkin permintaanmu yang baru datang belakangan akan bisa mengubah anugerahNya yang terdahulu?”

Inilah ketegasan tauhid kita untuk
memahami hubungan antara doa dan takdir. Banyak para hamba Allah Swt yang merasa ada kontradiksi yang mempengaruhi batin mereka, gara-gara belum tuntasnya antara ikhtiar, doa dan takdir. Dengan sejumlah pertanyaan, apakah takdir itu bias diubah dengan doa dan usaha? Kalau bisa berarti Allah Swt tergantung pada hambaNya. Kalau tidak bisa apakah makna dibalik perintah doa dan ikhtiar itu?

Dalam bahasa Sufistik, soal ikhtiar,
doa dan takdir dilihat dari dimensi hakikatnya. Bahwa secara hakikat,
upaya dan doa itu tidak akan menjadi
sebab terwujudnya takdir, dan tidak akan mengubah takdir. Mengapa demikian? Karena takdir Allah Swt, dengan semua ketentuanNya telah mendahului ikhtiar dan doa kita. Bagaimana mungkin, sesuatu yang baru (berupaya upaya dan doa kita) bisa mengubah sesuatu yang mendahului (ketentuan Allah Swt)?

Jadi cara memahami hakikat doa dan
ikhtiar adalah:

Doa dan ikhtiar itu sesungguhnya juga
takdir.

Bila Allah Swt hendak member
anugerah seseorang, maka si hamba juga ditakdirkan dan diberi kemampuan untuk berdoa dan berikhtiar.

Doa dan ikhtiar hanyalah tanda-tanda
takdir itu sendiri.

Allah memerintahkan kita berupaya
dan berdoa agar kita memahami bahwa kita sangat terbatas dan tak
berdaya, sehingga doa dan upaya
adalah bentuk kesiapan kehambaan belaka agar kita siap menyongsong takdirNya.

Aturan syariat mengharuskan kita
berikhtiar dan berdoa, karena syariat adalah aturan bagi keterbatasan
manusia, dengan bahasa dan tugas
manusiawi (taklifi), maka seseorang akan berdoa dan beriktiar dengan penuh kepasrahan dan kerelaan pada ketentuan dan pilihan terbaikNya. Bukannya berdoa untuk memaksaNya mengubah takdirNya.

Maka Ibnu Athaillah menegaskan
dengan ucapan beliau:“Maha Besar (jauh) bila hukum AzaliNya harus
disandarkan pada sebab akibat yang
baru.”

Allah Swt adalah sebab segalanya.
Dan segalanya bergantung semua kepada Allah Swt. Allah Swt tidak
pernah menjadi akibat; seperti akibat
kita berdoa Allah menuruti apa yang kita mau, akibat kita berusaha Allah mengubah takdirNya. Jauh dan Maha Suci dari hal-hal seperti itu.

Berdoa kita lakukan semata untuk
‘ubudiyah, manifestasi kehambaan kita akan terwujud ketika kita berdoa. Sebab dengan berdoa manusia merasa hina dina, merasa butuh, merasa tak berdaya dan merasa lemah di hadapanNya. Dan itulah hakikat ubudiyah dibalik doa, agar kita tetap menjaga rasa hina, rasa fakir, rasa tak berdaya dan rasa lemah. Karena dengan nuansa seperti itu kita akan cukup bersama Allah, mulia bersamaNya, mampu bersamaNya, kuat bersamaNya. Wallahu A’lam.

Oleh : Solihin Gubes
Kaum Sarungan, 11 September 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar