Senin, 09 September 2013

(Al Hikam) Dua Tirai



Dua Tirai

Syekh Ibnu Athoillah as-Sakandary.

“Tirai itu terbagi dua; Tirai dari
maksiat, dan tirai di dalam maksiat. Umumnya orang mencari tirai dari
Allah Ta’ala, agar tertirai di dalam
maksiat, karena takut martabatnya jatuh di mata publik. Sedangkan
kalangan khusus mencari tirai dari
maksiat, karena takut bila gugur dari pandangan Sang Maha Diraja Al-Haq.”

Orang yang bermaksiat kebanyakan
ingin tertutup dari makhluk, bias karena malu, atau karena gengsi
ataupun karena takut harga dirinya
jatuh. Tirai atau tutup itu disebut sebagai tutup di “dalam maksiat”. Bagi kalangan ini, tutup di dalam maksiat berarti tidak memandang Allah swt, namun lebih memandang
kepentingan derajat makhluk atau
harga diri kemakhlukan.

Disinilah orang yang maksiat ini tidak
memandang celaan dari Allah Ta’ala – awal hingga akhirnya – dan
menumbuhkan riya’, berbagus diri di
hadapan makhluk, bukan di hadapan Allah Ta’ala. Hal demikian disebabkan oleh pendeknya himmah mereka dan minimnya iman mereka.

Sedangkan kalangan khusus, sejak
awal justru lari dari maksiat, kalau toh pun mereka mencari tirai, itu karena dalam proses perjalanannya, ingin sekali terhindar dari maksiat. Dalam konteks inilah disebut mencari “tutup dari maksiat”. Mereka bermotivasi agar terhindar dari maksiat, ada beberapa kategori:

1. Bisa mencari tutup karena takut
akan siksaNya.

2. Bisa mencari tutup karena takut
akan hijabNya. Dan,

3. Bisa karena takut akan kehilangan
pahala dariNya.

Ada pula mencari tirai karena khawatir
terlempar dari pintuNya; atau dari sisiNya, dan sebagainya, dan semua itu kembali karena ketakutan kalangan khusus ini jika tidak dipandang lagi oleh Allah Ta’ala. Karena mereka bias kehilangan banyak kebajikan, sekaligus banyak keburukan tiba.

Yang paling agung adalah mereka
mencari tutup dari maksiat karena rasa takut luar biasa akan Kharisma
Ilahi, karena rasa malu, rasa
mengagungkan kepadaNya. Bahkan seandainya Allah Ta’ala mengampuni
semua
dosa-dosanya sekalipun, rasa malunya kepada Allah Ta’ala serasa tak pernah sirna.

Sebagaimana
dikatakan oleh Al-Fudhail bin ‘Iyadh ra, “Duh betapa malunya kepadaMu… walau Engkau telah mengampuni…”

Bila saja faktor penghambat maksiat
itu justru dating karena tirai dari maksiat, maka jika makhluk lain
memuliakan anda, tetap saja kembali
pada TiraiNya, bukan pada diri anda, baik anda orang yang taat maupun anda orang yang maksiat.

Makanya
Ibnu Athaillah mengingatkan: “Siapa pun yang memuliakan anda , sesungguhnya ia telah memuliakan yang ada di dalam dirimu berupa keindahan TiraiNya. Karena itu pujian seharusnya kepada yang menutupi anda, dan pujian bukan pada orang yang memuliakan anda atau bukan kepada yang mengucapkan terimakasih kepada anda.”

Banyak orang balik memuji orang
yang memuji anda atau berterimakasih pada anda. Padahal seharusnya pujian itu kepada yang menutupi aib dan kekuarangan anda, yaitu Allah Rabbul Izzah Ta’ala.
Karena tanpa tirai tutupnya yang
indah pada anda, tak satu pun menghargai dan mengormati anda.
Karena itu ada pepatah Sufi yang
indah:

“Di sana tak ada lain kecuali
karena karuniaNya, dan tak ada kehidupan melainkan karena ada dalam tiraiNya. Jika saja tirai itu dibuka, pastilah terbuka cacat besar yang tiada tara.”

Manusia itu, pada aslinya adalah
tempatnya kurang dan cacat. Baik orang tersebut ahli ibadah maupun
ahli maksiat. Baik orang itu sedang
mendapatkan nikmat atau cobaan. Maka kita wajib memuji Allah swt, yang menutupi diri kita dengan tutupNya yang indah itu.

Oleh : Solihin Gubes
Kaum Sarungan, 20 September 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar