Kamis, 31 Januari 2013

Kaum Nyeleneh di Belakang Ahli Hadits


Kaum Nyeleneh di Belakang Ahli Hadits

Bismillah Ar-rahmaan Ar-rahiim.
Bila Anda berbicara dengan orang-orang yang lantang menyuarakan anti-TBC (takhayul, bidah dan churafat), Anda akan mendengar pengakuan mereka, “Kami adalah ahli Hadits”. Bila Anda berbicara dengan orang-orang yang anti mazhab dan menolak bermazhab dengan salah satu mazhab fiqih yang empat, Anda akan mendengar pengakuan mereka, “Kami adalah pengikut ahli Hadits”. Bila Anda berbicara dengan mereka yang anti Hadits dha’îf, Anda akan mendengar pengakuan mereka, “Kami
adalah ahli Hadits”. Dan, bila Anda mendengar orang-orang yang sok mujtahid dan meremehkan para
ulama, Anda akan mendengar pengakuan mereka, “Kami adalah ahli Hadits”. Nama ahli Hadits seakan
menjadi primadona yang diperebutkan. Siapa sih ahli Hadist?
Ahli Hadits sebagai pembawa Hadits-hadits Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam dan atsâr ulama salaf yang
saleh, tentu memiliki posisi penting di dalam hati sanubari kaum muslimin. Dukungan ahli Hadits terhadap suatu mazhab akan menjadi modal utama bagi suksesnya mazhab tersebut tersosialisasi, mengakar dan membumi di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, ketika Dinasti Abbasiah bermaksud mensosialisasikan faham Muktazilah di kalangan umat akar rumput, Dinasti Abbasiah memaksa ahli Hadis agar mengakui dan melegitimasi faham tersebut dengan cara mengintimidasi,
hukuman penjara, penyiksaan dan eksekusi terhadap ahli Hadits yang menolaknya, sehingga lahirlah tragedy sejarah yang disebut dengan mihnatul-Qur’ân (ujian para ulama tentang kemakhlukan al-Qur’an), dengan korban beberapa ulama ahli Hadits yang disiksa, dipenjara dan dibunuh. Dinasti Abbasiah dan ulama Muktazilah menyadari bahwa ideology mereka tentang kemakhlukan al-
Qur’an (khalqul-Qur’ân), tanpa dukungan dan legitimasi ahli Hadis, hanya akan menjadi gerakan
pemikiran kaum elit yang berada di singgasana langit, dan tidak tersentuh kehidupan bumi, menikmati prestise, popularitas dan privilege. Namun demikian, di sini ada suatu hal yang lepas dari perhatian kebanyakan orang, bahwa ahli Hadits sebenarnya tidak memiliki mazhab tertentu yang menyatukan paradigma mereka, baik dalam bidang fikih maupun dalam bidang akidah. Kitab-kitab tentang
rijâlul-Hadîts dan biografi ahli Hadis seperti Tahdzîbul-Kamâl, Tadzkiratul-Huffâzh, Lisânul-Mîzân, dan lain-lain, menyebutkan dengan gambling bahwa di antara perawi Hadis ada yang mengikuti mazhab Syafii, Hanafi, Maliki, Hanbali, dan mazhab-mazhab fikih yang lain.
Dalam bidang akidah, di antara ahli Hadits ada yang mengikuti aliran Syiah, Khawarij, Muktazilah,
Mujassimah, mazhab al-Asy’ari, al-Maturidi, dan aliran-aliran pemikiran yang lain. Di antara mereka ada juga yang mengikuti ideologi yang diaktualisasikan oleh Ibnu Taimiyah yang diambilnya dari minoritas ahli Hadits dan diklaimnya sebagai mazhab salaf dan Ahlussunnah wal Jamaah. Tentu saja, motivasi mereka mengklaim pandangannya sebagai mazhab salaf dan ahli Hadits, karena posisi Hadits Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam dan posisi ulama salaf saleh yang sangat penting di tengah-tengah kaum Sunni. Setiap golongan mengklaim bahwa dirinya merupakan pengikut ahli Hadits dan salaf yang saleh, seraya memvonis pihak lain telah menyimpang dari mainstream ahli Hadits dan salaf.
Dari sini, dapat difahami bahwa pernyataan kelompok-kelompok yang anti mazhab, yang mengklaim dirinya sebagai pengikut ahli Hadits, sedangkan kelompok lain yang bermazhab, baik dalam hal akidah
maupun dalam hal fikih, dianggapnya sebagai pengikut ahli bidah dan telah keluar dari mazhab ahli Hadits, tidak dapat dibenarkan, karena berdasarkan realita yang ada, ahli Hadits sendiri tidak memiliki mazhab tertentu yang menyatukan paradigm mereka, baik dalam hal fikih maupun dalam hal akidah. Justru dalam realita yang ada, mayoritas ahli Hadits dalam hal fikih mengikuti salah satu mazhab
yang empat, sedangkan dalam hal akidah mengikuti mazhab al-Asy’ari dan al-Maturidi. Bahkan tidak sedikit pula di antara ahli Hadits yang mengikuti ajaran kaum shufi sebagaimana dapat dibaca dalam
banyak literatur seputar biografi dan sejarah ahli Hadtis.
Sebagai catatan akhir, di antara ahli Hadits yang mengikuti mazhab asy-Syafii adalah al-Imam al-Bukhari, an-Nasa’i, Ibnu Khuzaimah, al-Ajurri, al-Daraquthni, al-Lalikai, al-Hakim, al-Baihaqi, Abu Nu’aim, as-Sam’ani, Ibn Asakir, Ibnush-Shalah, an-Nawawi, al-Mizzi, adz-Dzahabi, Ibnu Katsir, al-Alai, al-Iraqi, Ibnu Hajar, as-Sakhawi, as-Suyuthi, dan lain-lain. Mayoritas ahli Hadits mengakui adanya bid’ah hasanah (bidah yang terpuji), menerima Hadits dha’îf (Hadis lemah) dalam amal-amal yang utama, meyakini barakah dan karomah para wali dan orang saleh, menganjurkan ziarah ke makam para wali dan orang
saleh, membolehkan bertawasul dengan para nabi dan wali, mengikuti tarekat-tarekat sufi, membolehkan maulid Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam, meyakini sampainya pahala yang dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal dunia, dan atribut-atribut Ahlussunnah wal Jamaah lainnya. Hal ini sebenarnya merupakan hal yang aksiomatis, mudah dibaca dalam literatur sejarah dan biografi para ulama. Tapi sekarang memang zaman edan, yang jelas seakan menjadi samar, yang samar terkadang diminati orang.
Wallâhu A’lam.

Semoga bermanfaat.

Oleh : Solihin Gubes
Kaum Sarungan, 24 Mei 2012

Bacaan Sirr (Pelan) Saat Shalat Wajib Terdengar Oleh Diri Sendiri


Bacaan Sirr (Pelan) Saat Shalat Wajib Terdengar Oleh Diri Sendiri dengan Menggerakkan Bibir dan Lidah

Seorang tabi’in Abdullah bin Sakbarah bercerita bahwa ia pernah bertanya kepada Khabab RA, tentang apakah Rasulullah pada shalat Zhuhur dan Ashar (mengerak gerakan mulut beliau utk membaca bacaan sholat)? Kabbab menjawab, “Ya”. “Bagaimana kalian mengetahuinya?”,tanyanya. “Dari gerakan janggutnya”, jelasnya. (HR. Al-Bukhari [2:244] Fathul Bari, Al-Baihaqi [2:54] dan lainnya).
Al-Hafizh Al-Baihaqi dalam kitab As-Sunan mengutarakan, “Riwayat ini sebagai dalil atas wajibnya
menggerakkan lidah saat qira’ah (membaca)”.
Karena orang yang jenggotnya bergerak berarti mulutnya bergerak dan berarti lidahnya bergerak. Para
shahabat RA telah memperhatikan bacaan Nabi Saw pada shalat sirriyah (yang bacaannya pelan) -Zhuhur dan Ashar- bahwa beliau telah menggerakkan lidahnya untuk memperdengarkan bacaannya
kepada dirinya.
Imam yang empat berpendapat bahwa menggerakkan lidah saat membaca bacaan shalat adalah wajib
dan tidak cukup hanya dibaca di hati tanpa dilafalkan, berdasarkan sunnah yang shahih sebagaimana yang biasa mereka lakukan dalam istinbath-istinbath (penyimpulan-penyimpulan hukum) oleh mereka.
Dari Abu Qatadah RA, ia berkata: “Pada raka’at pertama dan kedua shalat Zhuhur Nabi Saw membaca Al-Fatihah dan dua surah, pada raka’at pertama surah panjang, dan pada raka’at kedua surah pendek.
Terkadang beliau memperdengarkan ayat dan dalam shalat Ashar beliau membaca Al-Fatihah dan dua buah surah…” (HR. Al-Bukhari [2:243] dalam Fathul Bari, dan Muslim [1:323]
Jika Rasul tidak memperdengarkan bacaannya kepada diri beliau, tentu mereka tidak mengetahui apa yang dibaca oleh beliau pada shalat Ashar. Ini merupakan dalil yang sangat jelas atas hal ini.
Dan ucapan Nabi Saw kepada orang yang buruk shalatnya, “Lalu bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Qur’an…” merupakan dalil yang terang atas wajibnya memperdengarkan bacaan kepada diri sendiri.
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’-nya [1:2787] berkata, “Qira’ah (bacaan) adalah mengatur suara dengan huruf, maka dia harus bersuara Minimal didengar oleh diri sendiri. Jika tidak didengar oleh diri sendiri maka shalat tidak sah…”.
Ar-Raghib Al-Asbahani bertutur dalam kitab Al-Mufradat [hlm.103] bab Qara’a, “Qira’ah (membaca) ialah menggabungkan huruf-huruf dan merangkaikan kata dengan kata secara runtut…”.
Sehubungan ini Imam Syafi’i berkata dalam kitabnya Al-Umm [1:88], “Memperdengarkan bacaannya
kepada diri sendiri dan orang yang di sampingnya”, dengan makna seperti dalam Al-Majmu’ [3:295].
Dalam Al-Majmu’ [:295], Imam An-Nawawi mengemukakan, “Minimal dari bacaan sirriyah(pelan) ialah
didengar oleh diri sendiri jika pendengarannya normal dan suasana tidak bising. Ini meliputi bacaan (Al-
Qur’an), takbir, dan tasbih dalam rukuk dan lainnya, juga tahiyyat, salam dan doa. Baik bacaan wajibnya
maupun sunnahnya tidak dianggap kecuali jika terdengar oleh diri sendiri melalui pendengaran yang normal dan tidak ada penghalang atau gangguan. Jika ada gangguan, maka suara ditinggikan agar dapat didengar oleh diri sendiri. Jika seperti itu keadaannya, maka tidaklah dianggap cukup jika bacaannya tidak seperti itu. Demikian Syafi’i menegaskan yang disepakati oleh teman-teman kami”.
Disini kita mesti menjaga ketenangan suasana dan terdengarnya bacaan oleh diri sendiri. Kalau keduanya bertentangan, maka yang didahulukan adalah memperdengarkan bacaan kepada diri sendiri. Suatu hal yang perlu diketahui bahwa jika orang yang sedang shalat berkonsentrasi dengan baik terhadap apa yang dibacanya, ia pasti tidak akan terpengaruh oleh suasana sekitarnya. Mengenai apa
yang disampaikan oleh sebagian orang dengan menyatakan bahwa apa yang disampaikannya itu adalah
hadits Nabi Saw, yaitu: “Janganlah orang yang membaca (Al-Qur’an) diantara kamu mengganggu
yang shalat darimu”, maka hadits ini adalah mawdhu’ (palsu).
Adasatu hadits yang berisi larangan Jahr (keras) dalam membaca, bukan larangan israr (memelankan) yang hanya dapat didengar oleh diri sendiri. Ini merupakan hadits hasan dengan syahid (penguat )-nya, yakni: “Janganlah sebagian kamu mengeraskan bacaan terhadap sebagian yang lain dalam shalat”. (HR.
Ahmad [2:36])
Catatan:
Apa yang dikatakan oleh sementara orang khususnya sebagian pemilik ijazah bahasa Arab (sarjana bahasa Arab) bahwa ada qira’at shamitah (bacaan yang diam/di hati saja) tanpa menggerakkan bibir, merupakan suatu kesalahan dari sisi bahasa Arab. Jika tidak bersuara, itu namanya muthala’ah (bukan qira’ah). Karena yang namanya qira’ah harus bersuara dengan huruf-huruf alfabeta. Maka pahamilah ini baik-baik.

[Tulisan ini saya kutip dari “Shahih Shifat Shalat An-Nabiy Min At-Takbir ila At-Taslim Ka’annaka Tanzhur
Ilaiha” oleh Syaikh Hasan Ali Assaqaf]
* Syaikh Hasan bin Aly Assaqafi,mufti Makkah madzhab Syafi’i .Wafat 1335.

Oleh : Solihin Gubes
Kaum Sarungan, 24 Mei 2012

HADIST : Kesabaran Rosulullah SAW & Meraih 7000 sholawat dari Malaikat


Kesabaran Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam

Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sama sekali tidak pernah memukul seorangpun dengan tangan beliau, tidak itu istri beliau, tidak pula pelayan beliau, kecuali saat berjihad di jalan Allah. Beliau tidak pernah sekalipun disakiti lalu beliau membalas pelakunya, kecuali bila hal-hal yang Allah haramkan dilanggar, maka beliau baru membalas karena Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Muslim no. 2328).

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu dia berkata;
“Aku pernah berjalan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang ketika itu beliau mengenakan selendang yang tebal dan kasar buatan Najran. Kemudian seorang Arab Badui dating lalu menarik beliau dengan tarikan yang sangat keras hingga aku melihat permukaan pundak Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berbekas akibat kerasnya tarikan selendang itu. Lalu orang itu berkata, “Berikanlah aku harta Allah yang ada padamu”. Kemudian beliau memandang kepada orang Arab Badu itu seraya tertawa, lalu beliau memberikan sesuatu kepadanya”. (HR. Al-Bukhari no. 5809 dan Muslim no. 1057).

Aisyah radhiallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bercerita: Bahwa dia pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Apakah anda pernah mengalami peristiwa yang lebih berat dari kejadian perang Uhud?”. Beliau menjawab: “Sungguh aku sering mengalami peristiwa berat dari kaummu. Dan peristiwa yang paling berat yang pernah aku alami dalam menghadapi mereka adalah ketika peristiwa pada hari Al-Aqabah ketika aku meminta perlindungan kepada Ibnu ‘Abdi Yalil bin ‘Abdi Kulal namun dia tidak mau memenuhi keinginanku. Maka akhirnya aku pergi dengan wajah gelisah. Aku tidak sadar kecuali aku telah berada di Qarnu ats-Tsa’aalib (Qarnu al-Manazil). Aku mengangkat kepalaku ternyata aku berada di bawah awan yang menaungiku, dan ternyata di atasnya ada malaikat Jibril yang kemudian memanggilku seraya berkata, “Sesungguhnya Allah mendengar ucapan kaummu kepadamu dan apa yang mereka katakana kepadamu. Dan Allah telah mengutus kepadamu malaikat gunung yang siap diperintah apa saja sesuai kehendakmu terhadap mereka”.
Maka malaikat gunung memanggilku, dia memberi salam kepadaku kemudian berkata, “Wahai Muhammad, apa yang kamu inginkan katakanlah. Jika kamu kehendaki, aku akan timpakan kepada
mereka dua gunung Akhsyab”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jangan, karena aku berharap Allah akan memunculkan dari anak keturunan mereka orang yang menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun”. (HR. Al-Bukhari no. 2312 dan Muslim no. 1795).

----------------------------------------------------------------------------

Meraih Shalawat 70000 Malaikat

Ali radhiallahu anhu berkata: Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidaklah seorang muslim menjenguk muslim yang lainnya pada pagi hari, kecuali 70000 malaikat akan bershalawat untuknya hingga sore hari. Jika dia menjenguknya di sore hari, maka 70000 malaikat akan bershalawat untuknya hingga pagi. Dan dia akan mendapatkan kebun yang penuh berisi buah-buahan di surga kelak.” (HR. At-Tirmizi no. 969 dan dinyatakan shahih)

Makna shalawat dari malaikat adalah malaikat akan mendoakan agar Allah mengampuni dan merahmatinya.


Dari Tsauban -budak- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
“Barangsiapa yang menjenguk orang yang sakit, maka orang itu senantiasa berada dalam khurfah surga.” Beliau ditanya, “Apa itu khurfah surga wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Kebun yang penuh dengan buah-buahan yang dapat dipetiknya.” (HR. Muslim no. 2568).


Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Hak muslim atas muslim lainnya ada lima: Menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengiringi  jenazah, memenuhi undangan, dan mendoakan orang yang bersin”. (HR. Al-Bukhari no. 1240 dan Muslim no. 2162).

Oleh : Solihin Gubes
Kaum Sarungan, 25 Mei 2012