Rabu, 30 Januari 2013

Makna "Alhamdulillah"


Assalammualaikum wr.wb..
Guru-guru.. Kenapa didalam surah al-Fatiha digunakan kata "alhamdu" tidak "almadhu".

Kalau melihat di Kitab Tafsir Ath Thobari, dari sebuah rawi hadits yang berbunyi :
Ali bin Al Hasan bin Al Kharraz menceritakan kepada kami, katanya, Muslim bin Abdurrahman Al Jarmi menceritakan kepada kami, katanya, Muhammad bin Mus' ab Al Argasani menceritakan kepada kami dari Mubarak bin Fadhalah, dari Al Hasan, dari Al Aswad bin Sari bahwa Rasulullah SAW bersabda,

لَيْسَ شَيْءٌ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْحَمْدُ ِنَ اللّهِ تَعَالَى , وَلِذَلِكَ أَثْنَيْ عَلَى نَفْسِهِ فَقَالَ : الْحَمْدُ لِلّهِ

"Tidak ada sesuatu pun yang lebih dicintai Allah dari pujian kepadaNya, oleh karenanya Dia memuji atas Dzat-Nya sendiri seraya berfirman, alhamdulillah.


Jika ada yang bertanya, lalu apa fungsi alif dan lam dalam kata alhamd? Mengapa tidak dikatakan saja : حمداللهربالعالمين ?

Jawabannya : bahwa masuknya alif dan lam dalam kata hamd (alhamd) memiliki makna tersendiri. yang tidak dimiliki oleh kata hamdan, dimana kata alhamdulillah artinya : s
égala puji bagi Allah, sedangkan kata hamdan lillah artinya : aku memuji Allah, hanya sekedar pujian, tidak berindikasi pujian yang sempurna bagi Allah.

Oleh karena makna inilah para qari sepakat membaca marfu' (dhammah) pada الْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ العلَمِيْم dan tidak membacanya manshub (fathah)
° karena mengindikasikan makna yang tidak sempurna. Sehingga menurutku, barangsiapa yang membacanya dengan nashab maka ia pantas dihukum karena maknanya berubah dengan bacaan tersebut.

Jika ada yang berkata, "Lalu apa makna alhamdulillah? Apakah Allah memuji Dzat-Nya sendiri kemudian mengajarkannya kita untuk mengucapkannya?" Jika demikian, lalu apa penafsiran firman Allah SWT, إِنَّاكَ تَعْبُدُ وَ إِنَّكَ تَسِنَعِيْنُ sementara Dia adalah Tuhan yang disembah bukan penyembah, atau apakah itu bagian dari perkataan Jibril, atau Rasulullah SAW ? Dan jika demikian, berarti bukan firman Allah.

Jawabannya : sebaliknya, semua itu adalah firman Allah Ta'ala, akan tetapi Dia memuji Dzat-Nya sendiri dengan puji-pujian yang semestinya, kemudian mengajarkannya kepada para hamba-Nya dan mewajibkan mereka untuk membacanya, sebagai ujian dariNya atas mereka, lalu berfirman kepada mereka : katakanlah : الْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ العلَمِيْم dan katakan إِنَّاكَ تَعْبُدُ وَ إِنَّكَ تَسِنَعِيْنُ . Jadi, firman Allah SWT, إِنَّاكَ تَعْبُدُ وَ إِنَّكَ تَسِنَعِيْنُ adalah lanjutan dari firman-Nya, الْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ العلَمِيْم seakan-akan Allah berfirman, katakan ini dan itu.

Sebagai tambahan:
Posisi alif dan lam pada kata alhamdu juga mengindikasikan sifat illahiah berkaitan dengan salah satu asma'ul husna yaitu Al Hamid.
Bukankah Allah adalah Yang Maha Terpuji, dan tiada satupun yang mampu memuji sesuatu melampaui Allah?? Jadi posisi alhamdu merujuk kepada Dzat Allah yang memuji Kemahaagungan-Nya sendiri dalam kaitannya sebagai Dzat Yang Paling Terpuji.. Dari Allah kepada Allah..

Tambahan: Kata "Alhamdu" berasal dari fiil madhi "hamida" berarti memuji, sedangkan dalam kata yang lain ada juga kata "Almadhu" dari fiil madhi "madaha" yang juga berarti memuji.

Itulah uniknya bahasa Arab yang menandakan kekayaan kosa kata yang dimilikinya. Perbedaan dari kedua kata tersebut yang secara umum memiliki arti yang sama namun dalam detailnya tidaklah sama, misalnya :

Pertama, kata alhamdu itu memilki arti pujian dengan ucapan yang mengundang decak kagum pada suatu perbuatan atau keindahan, yang bersifat "ikhtiari", baik konteks pujiannya tentang nikmat atau selainnya. Sedangkan kata almadhu bersifat "idhtirary". Maksud dari ikhtiari adalah bahwa keindahan tersebut bersifat aktif dan diusahakan. Misalnya, si A dikenal sebagai orang miskin, namun karena ia tergerak untuk menjadi kaya ia pun berusaha sekuat tenaga untuk menjadi kaya. Kemudian jadilah ia kaya. Dia dipuji oleh banyak orang karena upaya kerasnya dan kedermawanannya kepada sesama. Seangkan idhtirary bersifat pasif dan cenderung sudah menjadi bawaan. Misalnya, si B terlahir dengan memiliki hidung yang mancung. Saat besar dia terlihat gagah dan mancung hidungnya menjadikan wajahnya rupawan. Karenanya, penggunaan kata alhamdu bukan almadhu untuk menekankan bahwa segala pujian yang disandarkan kepada Allah berasal dari ketentuan-ketentuan yang bersifat aktif dan pilihan atau terusahakan.

Kedua, kata alhamdu berarti pujian dimana orang yang memuji itu kemudian mengalami perasaan kagum dan cinta bahkan berusaha mengikuti kebaikan dari orang yang dipujinya itu. Karena itu, kata alhamdu cuma disampaikan kepada makhluk yang berakal. Sedangkan kata almadhu hanya sebatas melontarkan pujian saja tanpa dia merasa mencintainya atau berusaha untuk mengikuti kepada siapa atau apa yang dia puji.Karena itu, cakupan objek pujian kata almadhu itu lebih luas karena mencakup juga benda mati atau makhluk tak berakal.

Ketiga, kata almadhu terkadang digunakan sebelum seseorang melakukan kebaikan, termasuk juga sesudahnya. jadi dalam penggunaan kata ini ada orang dipuji meskipun dia belum melakukan sesuatu apapun. Berbeda dengan kata alhamdu yang baru bisa terucap kalau seseorang telah melakukan kebaikan. Jika demikian apa bedanya dengan kata "syukur". Dalam hal ini syukur memiliki kesamaan dengan kata alhamdu, hanya bedanya kalau syukur itu jika seseorang telah menerima nikmat, hanya nikmat tidak untuk yang lain. Sedangkan kata alhamdu mencakup nikmat dan selainnya seperti sifat atau atau kelakuan baik.

Dari keterangan diatas, jelaslah kenapa kata alhamdu yang dipilih bukan kata almadhu. Disamping karena Allah adalah Dzat yang menciptakan makhluk yang berakal namun juga karena pujian kepada-Nya harus menghantarkan kita untuk mengagumi, mencintai dan kemudian meneladani kebaikan dari pujian itu. itulah pujian yang aktif.


Tambahan: masih penasaran?? kasih daahh:

Kata Alhamdu lillahi biasa kita terjemahkan dengan arti segala puji milik Allah SWT. Dari terjemahan tersebut, terdapat kata "segala/semua" karena meskipun kata alhamdu berbentuk mufrad atau tunggal namun fungsi alif lam pada kata tersebut sebagai "lil istighraq" untuk menyatakan makna keseluruhan. Sehingga mafhumnya adalah segala bentuk pujian yang ada dan yang tersampaikan hakikatnya adalah milik Allah swt.

Sementara ulama memang melakukan penafsiran terhadap jenis pujian ini menjadi 4 macam.

Pertama, hamdu Qadimin liqadimin yaitu pujian Allah kepada dzatnya sendiri. Misalnya, saat Allah adalah Dzat yang telah menciptakan beberapa lapis langit dan bumi, Allah berfirman الحمد لله الذى خلق السموات والأرض segala puji bagi Allah yang telah menciptakan beberapa lapis langit dan bumi. Yang mencipta Allah dan yang menyatakan hal itu juga Dzatnya.

Kedua, hamdu Qadimin liHaadits yaitu pujian Allah kepada hamba-Nya. Misalnya saat menilai bahwa Nabi Sulaiman dan Ayyub adalah sebaik-baik hamba-Nya dalam hal kuantitasnya melakukan taubat dan ibadah kepada Allah, seperti pada firman-Nya نعم العبد إنه أواب. Dalam konteks Allah memuji hamba-Nya, bukan berarti pujian itu tidak kembali kepada Allah, bahkan pujian itu layak dikembalikan karena Allah lah yang telah menganugerahkan kebaikan itu kepada kedua nabi tersebut.

Ketiga, hamdu haaditsin li Qadimin pujian makhluk kepada Penciptanya Allah swt. Inilah sejatinya pujian yang senantiasa kita lakukan, baik dalam ucapan kita dengan memperbanyak bacaan hamdalah tersebut juga dalam perbuatan kita, yang mencerminkan syukur atas segala anugerah dan nikmat yang kita dapat.

Keempat, hamdu haaditsin li haaditsin. Pujian dari makhluk untuk makhluk. Kita memuji makhluk Allah yang lain dalam hal kelebihannya memiliki sesuatu. Baik kita memuji karena keilmuannya, karena hartanya, karena kedermawanannya, karena perangainya yang mulia, karena kecantikannya dan hal lain yang bisa dimiliki manusia. Semua pujian-pujian yang kita terima itu haruslah disandarkan kepada-Nya, karena sesungguhnya semua itu berasal dari-Nya dan kapanpun Ia akan mengambilnya manusia harus siap melepasnya.

Karena itu, setiap insan harus menyadari sepenuhnya bahwa sekecil apapun celah pujian yang diterimanya mengharuskan ia mengembalikan pujian itu kepada Allah Sang Pemilik segala puji. Ini mengindikasikan bahwa manusia tidak layak untuk menyandang pujian itu karena mereka hanyalah sebagai wasilah atau sarana yang Allah ciptakan untuk menampung pujian yang berasal dari-Nya.


Oleh : Ibnu Samsudin Bin Elyas
Kaum Sarungan, 1 April 2012

1 komentar: