Senin, 07 Januari 2013

Kisah Muhammad bin Sirin rahimahullah; Tauladan Sebuah Kejujuran dan Sifat Wara’ Oleh David Muhammad

Dari Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Sungguh akan terlepas pegangan Islam satu demi satu. Setiap terlepas salah satu pegangan, maka orang-orang akan berebutan untuk bergantung kepada yang lain. Adapun
yang pertama kali terlepas itu adalah persoalan hukum, sedangkan yang terakhir adalah perkara sholat”. (HR.Ahmad)
Bila anda menyaksikan Indonesia Lawyer Club yang ditayangkan oleh TVOne semalam (22/11/11), maka anda akan mengambil kesimpulan betapa bobrok dan kacaunya persoalan hukum di Indonesia. Betapa kacau dan carut-marutnya pengelolaan Lembaga Pemasyarakatan (Penjara) di negeri ini.
Pada kesempatan ini kita coba renungkan sebuah kisah yang bisa dijadikan tauladan. Setidaknya dapat dijadikan gambaran betapa kuatnya ketakwaan dan sifat wara’ yang telah dicontohkan oleh seorang Tabi’in yang hidup pada zaman khulafaur rashidin. Inilah sekelumit kisah Muhamammad bin Sirin rahimahullah.



Muhammad bin Sirin rahimahullah lahir dua tahun sebelum berakhirnya khilafah Ustman bin Affan radyiyallahu ‘anhu. Beliau tumbuh besar di suatu rumah yang semerbak
dipenuhi wewangian takwa dan wara’. Ketika memasuki usia remaja, ia mendapati masjid Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam penuh dengan sahabat dan tabi’in seperti Zaid bin
Tsabit, Anas bin Malik, Imran bin Hushain, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma. Beliau sangat antusias belajar dan menyerap ilmu-ilmu agama dari Kitabullah, mendalami masalah fiqih dan mempelajari hadist-hadist Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Otaknya makin subur dengan hikmah dan ilmu, jiwanya makin kaya dengan kebaikan dan hidayah.
Kemudian berpindahlah keluarganya ke Basrah, dan mereka menetap disana. Ketika itu, Basrah merupakan kota baru yang dibangun oleh kaum muslimin pada akhir masa kekhalifahan Umar bin Khaththab radiyallhu ‘anhu. Ibnu Sirin senantiasa menegakkan kalimat yang benar dihadapan para penguasa Bani Umayyah. Sebagai buktinya, ketika Umar bin Ubairah al-Farazi yang diangkat menjadi gubernur Irak pernah meminta Ibnu Sirin menemuinya. Lalu beliau datang bersama seorang saudaranya. Umar bin Huabirah bertanya tentang keadaan kota Basrah ketika itu, “Dalam kondisi seperti apa anda tinggalkan kota Basrah, wahai Abu Bakri?”
Ibnu Sirin berkata, “Akan aku tinggalkan kota dimana kezhaliman telah merajalela sedangkan anda sebagai pemimpin tidak menghiraukannya!”
Mendengar jawaban itu, saudaranya mencubit kakinya. Tapi beliau berkata kepada saudaranya itu, “Bukan engkau yang ditanya, tapi aku! Ini adalah kesaksian : ‘Dan barangsiapa yang menyembunyikannya maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya’ (QS. Al-Baqarah: 283)”
Usai pertemuan itu, akhirnya beliau dilepas dengan santun dan hormat sebagaimana ketika datang. Lalu gubernur menghadiahkan uang senilai 3000 dirham dari khas Negara. Tetapi Ibnu Sirin menolaknya dengan tegas. Sehingga saudaranya bertanya, “Mengapa kau menolak hadiah yang diberikan amir kepadamu?”
Ibnu Sirin menjawab, “Dia memberi karena mengira aku orang baik. Bila benar aku orang baik maka aku tidak pantas mengambil uang itu. Namun jika aku tidak seperti yang ia duga, tentu lebih layak lagi untuk tidak mengambilnya…”
Allah subahanhu wa ta’ala berkehendak menguji ketulusan dan kesabaran Muhammad bin Sirin.

Suatu ketika, beliau membeli sebejana minyak seharga 40.000 dirham untuk
diperniagakan dengan pembayaran yang dilakukan belakangan (berhutang). Ketika diperiksa ternyata di dalam wadah minyak tersebut terdapat seekor bangkai tikus yang sudah membusuk dan mencemari minyak itu. Beliau berfikir, “Minyak ini di tamping dalam satu wadah sehingga najis itu telah mencemari seluruh isinya. Jika aku kembalikan kepada penjualnya maka pasti
akan dijualnya kembali kepada orang lain”. Akhirnya minyak tersebut dibuang semuanya,
walaupun pada saat itu perniagaannya sedang sulit. Sehingga beliau menjadi rugi besar dan tidak mampu membayar hutang-hutangnya. Lalu orang yang memberi hutang itu mengadukannya kepada yang berwewenang. Sehingga beliau dipenjara sampai bisa mengembalikan hutangnya. Cukup lama beliau di penjara, sehingga penjaga yang mengenalnya menawarkan agar ia bisa pulang ketika malam tiba. “Wahai Syaikh, pulanglah kepada keluargamu ketika malam tiba. Dan kembalilah kemari pada pagi harinya. Anda bisa melakukan itu sampai anda dibebaskan nanti”.
Tetapi Ibnu Sirin menolaknya, “Tidak! Demi Allah aku tidak akan melakukan itu”.
Mengapa?’, tanya penjaga.
Beliau menjawab, “Agar aku tidak membantumu mengkhianati pemerintah dan Negara”.
Saat itu Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu sedang sakit keras. Beliau (Anas) berwasiat
agar yang memandikan jenazahnya kelak adalah Muhammad bin Sirin, sekaligus menshalatkannya. Tak lama kemudian ‘Anas wafat. Orang-orang mendatanginya dan menceritakan wasiat sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam itu. Namun beliau berkata, “Aku tidak akan keluar kecuali jika kalian mengijinkan aku kepada orang yang aku hutangi. Bukankah aku ditahan karena belum mampu membayar hutangku kepadanya?”
Akhirnya orang yang memberinya hutang memberi izin agar dia bisa keluar daritahanannya. Beliau memandikan, mengkafan, dan menyolatkan jenazah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Setelah itu beliau kembali kepenjara tanpa sedikitpun mengambil kesempatan untuk menengok
keluarganya.

Muhammad bin Sirin mencapai usia 77 tahun. Tatkala kematian menjemputnya, dia mendapatkan dirinya sudah enteng karena tidak memikul beban duniawi lagi namun memiliki bekal yang banyak untuk kehidupan setelah kematian.
Banyak hikmah dari kisah ini, diantaranya:
[1]. Bahwasanya dengan sifat wara’-nya Ibnu Sirin tidak bersedia menerima upah (hadiah)
dari penguasa, apalagi uang tersebut berasal dari kas Negara.
[2]. Hanya ketakwaannyalah yang menyebabkan Ibnu Sirin tidak mengembalikan minyak yang sudah tercemar yang dibelinya. Karena khawatir orang lain yang berbuat curang, maka ia rela
membuang seluruh minyak itu walau oleh sebab itu ia menanggung beban hutang yang menyebabkannya masuk penjara.
[3]. Walaupun Ibnu Sirin diberi kelonggaran dan kesempatan untuk meninggalkan penjara untuk menemui keluarganya, beliau tidak mau menggunakan kesempatan itu karena itu bertentangan dengan prinsip kejujuran yang dipegangnya teguh.
Demikianlah sekelumit kisah Muhammad bin Sirin rahimahullah. Sebuah kisah nyata seorang tabi’in yang mungkin sudah sangat-sangat jarang kita temukan di Negara kita saat ini. Dimana hukum dengan mudah diperjualbelikan. Orang di penjara bisa dengan leluasa keluar masuk, bahkan untuk berlibur ke luar negeri. Sungguh sebuah kejujuran sudah merupakan barang langka dan mahal di negeri kita yang bernama INDONESIA ini.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Hendaklah kamu selalu jujur,
karena sesungguhnya jujur itu akan menuntun menuju kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan itu akan menuntun menuju surga. Dan tidaklah seorang berkata jujur dan berusaha menetap kejujuran, sampai ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang sangat JUJUR. Dan hendaklah kamu selalu menjauhi dusta, karena sesungguhnya dusta itu akan menuntun menuju kemaksiatan, dan sesungguhnya kemaksiatan itu akan menuntun menuju neraka. Dan tidaklah seseorang selalu berkata dusta dan selalu memilih kedustaan sampai dia ditulis di sisi Allah
sebagai PENDUSTA". (HR. Muslim, dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu ‘anhu)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: "Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertaubat beserta kamu dan janganlah melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan".
(QS. Hud/11: 112)
Billahi taufiq wal hidayah…
Semoga Bermanfaat.

Note:
Dinukil dari “Shuwaru min Hayati at-Tabi’in” , karya Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya. Edisi Indonesia: “Mereka Adalah Para Tabi’in”. Penerbit At-Tibyan, Solo. Cetakan X.
Tahun 2010.
Biografi Muhammad bin Sirin rahimahullah dapat juga dilihat dalam Kitab Thabaqaat al-Kubra (Ibnu Sa’ad), Shifatu ash-Shofwah  (Ibnu al-Jauzi), Hilyatu al-Auliya’ al-Shifatu ash-Shofwah (Ibnu al-Jauziahani), Tarikh Baghdad (al-Khatib al-Baghdadi), Wafiyaat al –A’yan (Ibnu Kulkan), al-Waafi bil Wafiyaat (Ash-Shafadi). Dll.
Secara lengkap, hadist yang dimaksud pada awal catatan diatas:
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bergegaslah melakukan amal (sebelum
datang, pen) enam perkara:
1. Munculnya pemimpin yang pandir,
2. banyaknya pembela pemimpin zhalim,
3. jual beli hukum,
4. meremehkan darah,
5. putusnya silaturrahim, dan
6. hadirnya generasi muda yang menjadikan al-Qur’an sebagai seruling, ia dijadikan tokoh bagi umat manusia meskipun ilmunya sangat sedikit” (HR. Thabrani)
 
Oleh : Solihin Gubes
Kaum Sarungan, 26 Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar