Kamis, 31 Januari 2013

Jalan Menuju Ma'rifatullah

Jalan menuju ma'rifatullah dengan tahapan 7M

1. Muatabah (Bertobat)


Muatabah yaitu bertobat

Allah SWT berfirman, “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (QS An Nur 31).

Sahabat Anas bin Malik berkata, saya pernah mendengar RasuluLlah SAW bersabda, “seseorang yang bertaubat dari dosanya seperti orang yang tidak punya dosa, dan jika Allah mencintai seorang hamba, pasti dosa tidak akan membahayakannya”.
(Rowaahu Ibnu Majah Wat Thobarooni Fiil Kabiir Wal Bayhaqi Fissya'bi 'An Ibni mas'udin Rofa'ahu).
Kemudian beliau membaca ayat: Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang suci. (QS. Al Baqarah 222)

Tiba tiba seorang sahabat bertanya, “Yaa RasuluLlah, apa tanda taubat ?” Oleh beliau SAW dijawab, “Menyesal”.

Anas bin Malik juga pernah meriwayatkan, bahwa RasuluLlah SAW bersabda, “Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai Allah melebihi seorang pemuda yang bertaubat”.

Taubat adalah awal tempat pendakian orang-orang yang mendaki dan maqam pertama bagi sufi pemula. Hakikat taubat menurut arti bahasa adalah “kembali”. Kata “taba” berarti kembali, maka taubat maknanya juga kembali. Artinya kembali dari sesuatu yang dicela dalam syariat menuju kepada yang dipuji dalam syari’at. Dalam suatu kesempatan Nabi SAW menjelaskan, “An-nadmu Taubat” yang artinya, “penyesalan adalah taubat”.

Jika salik / (orang yang belajar menuju ke hadirat Allah) meninggalkan segala kemaksiyatan, maka gumpalan-gumpalan nafsu yang mendorong untuk selalu bermaksiyat akan terlepas dari hatinya. Dan kemudian hatinya berketatan untuk tidak kembali kepada kemaksiyatan-kemaksiyatan sejenisnya, maka penyesalan yang sesungguhnya mulai menjernihkan hatinya. Dia menjadi manusia yang senantiasa menyesali atas apa yang pernah diperbuatnya. Sepak terjangnya, perilakunya, dan keadaan-keadaan dirinya mencerminkan rasa sesal, galau dan sedih. Maka dengan demikian, dia telah benar-benar menjalani taubat yang sempurna. Mujahadahnya benar. Kesungguhannya untuk menjadi orang baik benar-benar dapat dipercaya. Jika sudah mencapai tingkat demikian, maka sikap pergaulannya dengan manusia akan digantikannya dengan sikap uzlah. Dia akan menjadi orang yang senang menyendiri, menjauhi pergaulan yang tidak membawa kebaikan, memisahkan diri dari pergaulan-pergaulan bersama orang-orang yang berperilaku buruk. Waktu siang dan malamnya dipakai untuk bersedih, meratapi kesalahan-kesalahannya, dan menjadikan hatinya bersungguh-sungguh untuk bertobat kepada Allah. Air mata penyesalannya akan terus mengalir menggenangi dan membasahi luka hatinya, menghapus jejak-jejak dosa yang ditinggalkannya, dan mengobati jiwa nya yang duka. Pertanyaannya...Lalu bagaimana dengan diri kita sendiri sudahkah kita bertobat...???? Yaa Anta Ta'alamu Kayfa Haali (Risalaatul Qusyairiyyah li Imaami Abi QosimAbdul Karim Bin Hawazin Alqusyayriyyi Babut Taubah Hal 126 Darul Kutub)

2. Muraqabah (Pengawasan)

Muroqobah artinya adalah Istidamaatu ilmil 'abdi bitthilaa'ir Robbi 'alayhi fii jami'i ahwaalihi artinya : berbekalan pengetahuan hamba dengan pengawasan Tuhan terhadap dirinya dalam segala gerak-geriknya (keadaannya). (definisi sebagian ulama shufi)

3. Musyahadah (Mata hati atau ketajaman berfikir)

4. Mujahadah (persaksian)

5. Mukasyafah (penyingkapan)


Assyayyidul Jurjani memberikan difinisi atas Mukasyafah :
ALMUKAASYAFATU HIYA HUDUWRUN LAA YUN'ATU BIL BAYAAN Artinya :
Adapun mukasyafah yaitu Suatu kehadiran yang tidak dapat disifatkan dengan penjelasan/keterangan.

Hujjatul Islaam Alghozaali mengatakan bhwa Ajaibul Qolbi atau keanehan2 hati itu adalah diluar daripada apa yang diperoleh dengan pancaindra, karena hatipun diluar daripada jangkauan pancaindara. Dan apa2 yang tidak diperoleh dari pancaindra maka payahlah paham kita untuk mendapatkannya, kecuali dengan contoh yang nyata. Dan akan ane sebutkan contoh hal yang mendekatkan kepada paham2 yang lemah/payah tersebut menurut salah satu guruku dalam catatan kitabnya beliau Almaghfiurulloh Syekhuna Wahabibuna KH.M.Syafi'i Hadzami Nawwarollohu Dhoriyhahu Aamiin tsumma Aamiin...

Contohnya begini : Jika ada telaga yang digali dibumi, bisa jadi bahwa digiring kepada telaga itu air dari atasnya melalui sungai2 yang dilangsungkan kepadanya.
Bisa jadi juga bahwa digali di bawah telaga itu dan diangkatkan daripadanya tanah, sehingga mendekat kepada tempat air yang jernih, maka terpancarlah dari bawah telaga itu dan airnya lebih jernih lebih tetap dan terkadang lebih melimpah dan lebih banyak.

Nah itu lah hati laksana telaga dan ilmu laksana air dan pancaindra laksana sungai2 dan terkadang dapat digiring ilmu ke hati melalui sungai2 pancaindra dan memikirkan dengan segala yang nyata sehingga menjadi penuh ilmu.

Dan dapat juga ditutup sungai2 tersebut dengan bersunyi dan mengasingkan diri dan memejamkan mata dan berpegang teguh kedalaman hati dengan membersihkannya dan mengangkat lapisan2 dinding daripadanya, sehingga terpancarlah ilmu dari dalamnya.

Mungkin sahabat semua bertanya :
Bagaimana bisa terpancar ilmu dari dzat hati, padahal hati itu sunyi dari pada ilmu..???
Maka ketahuilah bahwa ini yang disebut 'AJAIBU ASROORIL QOLBI Yaitu keanehan2 rahasia hati yang tidak mudah disebutkan/dijelaskan/diterangkan dalam ilmu mu'amalah jadi inilah yang disebut Mukasyafah.
Wallohu 'Alam Biasrooril qolbi...

6. Mahabah (Kecintaan)

7. Ma'rifah (pengenalan)

Oleh : Ilham Sandy Firtha
Kaum Sarungan, 28 Mei 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar