Kamis, 31 Januari 2013

الرحمن على العرش استوى


 
Barang siapa mensifati Allah dengan sifat mahluk-Nya, maka ia telah terjerumus dalam kekufuran. Seperti mengatakan bahwa Allah adalah jasad layaknya manusia, yang berdimensi panjang, besar, lebar, pendek dan yang lainnya. Atau berkeyakinan bahwa Allah bisa ber-emanasi (menyatu dengan mahlukNya/Wahdatul Wujud), atau ber-imanensi (hulul).

Sebagian orang-orang bodoh berprasangka, bahwa segala sesuatu pasti berupa jisim, baik itu berupa benda padat, udara ataupun cahaya. Persepsi seperti itu jelas keliru dan tertepis dengan dalil (‘aqli dan naqli).

Sementara dalil aqli dan naqli sudah menetapkan, sebagaimana diterangkan oleh para rasul, bahwa Allah sama sekali tak ada kesamaan dengan mahluk-Nya. Sehingga tiada perbedaan antara orang yang berprasangka bahwa Allah yang ia sembah adalah jisim, dengan orang yang menyembah patung, yang terbuat dari batu, kayu atau logam dalam kekufurannya. Ahlussunnah telah sepakat bahwa golongan mujassimah tidak mengenal dan kufur akan Tuhan mereka.
Adapun hal-hal yang dinisbatkan pada Allah, yang memberi persepsi bahwa Allah itu jisim, seperti nuzul (turun) dan istiwa’ (bersemayam), maka sangat jelas sekali, bahwa yang dimaksud dari hal tersebut bukanlah turun dan bersemayamnya jasad. Akan tetapi yang dimaksud adalah, suatu keadaan yang sesuai dan pantas bagi Allah, yang sama sekali tidak ada keserupaan dengan mahluk-Nya. Allah SWT berfirman:
surah / surat : Fushshilat Ayat : 11

ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ

Kemudian dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap (QS. al- Fusshilat : 11).

Begitu juga dalam fimanNya yang lain:

إِنَّ رَبَّكُمُ اللهُ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضَ فِى سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang Telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu dia bersemayam di atas 'Arsy. (Q.S al- A’raf 54)

Sangat jelas sekali bahwa istiwa’ Allah dalam ayat tersebut setelah penciptaan langit dan bumi. Hal itu bisa dilihat dari kata sambung yang digunakan, yaitu ثم . istiwa’ adalah satu pekerjaan Allah yang sama sekali berbeda dari pekerjaan mahlukNya.
Semua sifat Allah itu Azali, Demikian pula dengan ilmu-Nya juga azali. Qudrat dan Iradat-Nya pun juga azali. Dan semua itu sudah ada sebelum adanya mahluk.

Sebagaimana kata kerja ketika dinisbatkan pada Allah, maka tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, karena Allah juga tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Maka firman Allah SWT :

يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَيُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.(Q.S al-Baqarah 185)

Tidak dibatasi dengan zaman Hal atau Istiqbal, sebagaimana sudah menjadi kaedah baku dalam fi’il mudlore’ ketika disandarkan pada sesuatu yang mempunyai waktu. Jadi, yang dimaksud dengan kehendak Allah dalam ayat tersebut adalah kehendak yang mutlak (tidak dibatasi oleh ruang dan waktu), azali dan abadi.
Begitu juga dengan kata kerja كان dalam firman-Nya :

وَكَانَ اللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرًا

Dan Allah adalah Dzat Yang Maha Kuasa (al- Nisaa’ 133 ), juga tidak dibatasi oleh waktu.

Dalam menerangkan kisah Thalut, Allah SWT berrfirman :

إِنَّ اللهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِيْ الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ

Sesungguhnya Allah Telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa. (Q.S al- Baqarah 247)

Lafad بسطة dalam ayat tersebut, adalah satu kata yang ketika disandarkan pada sesuatu yang sifatnya jasmani, maka menunjukkan arti yang ada hubungannya dengan kejisiman, seperti panjang, lebar, tinggi, pendek dan yang lainnya. Namun ketika disandarkan kepada sesuatu yang bukan jasmani, seperti penyandaran lafad بسطة pada ilmu, maka harus diartikan dengan arti yang sesuai, yang tidak bisa diukur dengan menggunakan ukuran jisim.

Ketika sesuatu yang disandarkan pada makhluk saja, sebagaimana dalam uraian diatas, maka apapun yang dinisbatkan kepada Allah harus diartikan dengan arti yang tidak mengandung penyerupaan dengan makhlukanya. Karena itu merupakan sifat Allah yang maha suci dan maha luhur.

Begitu juga lafad yang menerangkan tempat, ketika dinisbatkan kepada Allah, maka harus diartikan dengan arti yang sesuai dengan keagungan-Nya. Karena Allah adalah Dzat yang terbebas dari dimensi ruang dan waktu. Sehingga tidak membutuhkan tempat, yang mana hal itu sangat tidak pantas bagi-Nya, yang sama sekali tidak ada kesamaan dengan mahluk-Nya.
 
Adapun firman Allah :

أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِيْ السَّمَآءِ

Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit ?( Q.S al-Mulk 16)
Huruf Jer في yang bermakna tempat, ketika disandarkan pada Allah, maka secara otomatis makna tempat yang terkandung didalamnya hilang. Begitu juga makna yang terkandung dalam huruf-huruf yang lain, seperti على, مع dan yang lainnya.
Turun dan datang yang dinisbatkan pada jisim bisa terwujud dengan adanya gerakan dan perpindahan dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Sementara turun yang dinisbatkan kepada Allah, tentunya sangat berbeda dengan apa yang kita kenal, yang berupa gerakan dan perpindahan. Karena turunnya Allah adalah nuzul ilahi yang disepikan dari perpindahan dan persamaan sebagaimana dzat-Nya.

Ditulis dalam kitab ar Risalah al- Qusyairiyah:
Kedekatan Allah dengan hambanya merupakan Karomah dari-Nya, sedangkan jauhnya Allah dari hambaNya merupakaan kenistaan bagi dirinya, keluhuran Allah tanpa ada yang menjunjungnya, begitu juga dengan kedatangan-Nya, tanpa ada proses perpidahan. Pada kata “keluhuran Allah tanpa ada yang menjunjungnya” jangan diasumsikan tidak ada yang mengangkatnya

Tidak ada perbedaan dikalangan Ahlussunnah dalam menyikapi makna يد (tangan) dalam firman Allah يد الله فوق أيديهم (tangan Allah di atas tangan mereka), bahwa yang dimaksud dengan يد dalam ayat tersebut, bukanlah organ tubuh yang biasa kita lihat. Begitu juga lafad yang secara harfiah, bermakna betis dan jari. Ketika disandarkan pada Allah, maka yang dimaksud bukanlah betis atau jari yang biasa kita lihat setiap hari. Sehingga bisa diambil kesimpulan, bahwa turun, datang, istiwa’nya Allah tidak sama dengan apa yang dikenal pada jasad.

Barang siapa menetapkan bahwa Allah turun, datang, bersemayam sebagaimana yang terjadi pada mahluk-Nya, maka ia telah tersesat dan kafir, karena ahlul haq meyakini bahwa turun, datang, dan bersemayam yang disandarkan pada Allah sama sekali berbeda dengan apa yang terjadi pada mahluk-Nya. Dan mereka mengingkari turun dan datang yang sama dengan jisim melalui proses perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain. Mereka juga beriman bahwa Allah istiwa’ di ‘arsy, akan tetapi mengingkari istiwa’ yang kita kenal pada jisim, karena istiwa’ pada jisim diketahui bentuknya.


Inilah keyakinan yang benar, yang ditempuh para Salafus Shaleh, yang didalamnya terdapat umat-umat pilihan, seperti para sahabat dan tabi’in.

Adapun orang-orang yang mengaku bahwa dirinya mengikuti keyakinan yang ditempuh Salafus Shaleh. Tapi kenyataanya dia berkeyakinan bahwa Allah adalah jisim, atau bahkan dirinya ragu apakah Allah itu jisim atau tidak, maka, itu merupakan kemunafikan yang nyata.

Perbedaan yang menonjol antara kita dan para Mutasyabbihin, adalah dalam penetapan apakah Allah itu jisim atau tidak. Karena segala sesuatu hanya dibagi menjadi dua saja. Yaitu berupa jisim atau tidak, tidak mungkin bisa lepas dari keduanya, atau tersusun dari keduanya secara bersamaan, sehingga kadang-kadang ia berupa jisim dan kadang-kadang tidak. Sehingga keyakinan mereka tidak bisa lepas dari tiga hal dibawah ini :
- orang yang berasumsi dan meyakini bahwa Allah adalah jisim.
- orang yang meyakini bahwa Allah tidak berupa jisim.
- orang yang berada dalam keraguan, antara Allah itu jisim atau bukan.

Sebetulnya golongan yang ketiga ini tidak ada bedanya dengan golongan yang pertama, yaitu sama-sama sesat dan kafirnya. Karena telah menyamakan Allah dengan mahlukNya, dengan cara mensifati-Nya sama seperti sifat mahluk-Nya yang terbatas.
Adapun ahlul haq meyakini bahwa sama sekali tidak boleh berkeyakinan bahwa Allah adalah satu bagian dari makhluk sehingga masuk dalam batasan jisim atau makhluk. Barang siapa telah meyakini bahwa Allah bukanlah jisim, maka ia harus membuang jauh-jauh semua yang berhubungan dengan jisim dari hatinya. Karena kalau tidak, maka imannya masih perlu dipertanyakan.

 
ALLOH ADA SEBELUM YANG LAIN WUJUD

Segala sesuatu selain Allah adalah mahluk, yang keberadaannya baru, setelah sebelumnya didahului oleh tidak ada. Allah SWT berfirman:

اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ
Allah adalah Pencipta segala sesuatu (Q.S ar Ra’d 16)

Ketika akal sudah bisa menggambarkan mata rantai segala sesuatu selain Allah, keberadaanya baru, setelah sebelumnya tidak ada, maka logikanya, keberadaan Dzat yang telah menciptakan mereka, lebih awal dari pada keberadaan mereka. Tentunya dengan lebih awal yang terbebas dari dimensi ruang dan waktu, sebagaimana dijelaskan di depan.

Diriwayatkan dari Imron bin Hushoin RA, Nabi Muhammad SAW bersabda :

كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرَهُكَانَ اللهُ وَلاَ شَيْءَ مَعَهُكَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ قَبْلَهُ.

Hadits-hadits ini terdapat dalam dalam shahih Bukhari, shahih Muslim dan kitab-kitab Sunan yang lain.

Ketika beberapa riwayat hadits diriwayatkan secara maknawi, maka bisa diambil kesimpulan satu makna yang sama. Oleh karena itu kita harus focus pada persamaan makna tersebut, walau secara lafdzi hadits –hadits tersebut berbeda.

Ada kemungkinan dua makna yang terkandung dalam hadits لم يكن شيئ قبله , salah satunya selaras dengan riwayat-riwayat yang lain

Karena ketika dikatakan “ tidak ada sesuatu apapun bersama Allah” maka sudah pasti sesuatu itu belum wujud sebelum Allah. Sehingga secara ilmiah tidak diperbolehkan menggunakan kemungkinan arti yang lain, disebabkan adanya pertentangan dengan riwayat-riwayat lain yang shahih.

Sementara orang yang berargumen dengan menggunakan dalil hadits أنت الأول
فليس قبلك شيء juga keliru. Karena dalam Hadits ini juga dimungkinkan adanya dua makna yang berbeda. Sementara hadits muhtamal (hadits yang mempunyai kemungkinan makna lebih dari satu), tidak boleh dijadikan penguat bagi hadits muhtamal yang lain.
Selain itu, hadits tersebut juga tidak bertentangan dengan hadits-hadits shahih, sebagaimana diterangkan di atas, sehingga hadits-hadits tersebut, harus diarahkan pada makna yang sama dengan hadits shahih. Karena hadits muhtamal hanya bisa dikuatkan oleh hadits shahih.

Adapun riwayat Imam Ahmad dalam musnadnya adalah, كان الله قبل كل شيء
Barang siapa menggunakan hadits muhtamal, sebagai dalil, tanpa menghiraukan hadits yang sudah jelas maknanya, maka, dia sudah menyalahi aturan dasar keilmuan, dan telah mempergunakan dalil menurut hawa nafsunya, serta mengikuti jalan orang-orang yang tersesat, yang lebih memilih makna yang lemah dari pada nash yang masih muhtamal. Sehingga orang tersebut meninggalkan dalil yang sudah pasti dan jelas maknanya, yang di dalamnya sudah tidak didapati kesamaran dan kemungkinan-kemungkinan yang lain.

Catatan ini adalah terjemahan dari Kitab Sayyid Muhammad Al-Maliki Bin Alawi Al-Maliki...yang berjudul HUWALLOHU


Oleh : Ilham Sandy Firtha
Kaum Sarungan, 25 Mei 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar