Senin, 21 Januari 2013

Bagaimana agar bisa ikhlas?


Dari Amirul Mukminin, Umar bin Khathab ra, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya segala amal perbuatan bergantung kepada niatnya
dan tiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya, maka ia akan mendapatkan pahala hijrah karena Allah dan Rasulullah.
Barang siapa yang hijrahnya karena faktor duniawi yang akan ia dapatkan atau karena wanita yang akan ia nikahi, maka ia dalam hijrahnya itu ia hanya akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR Bukhari-Muslim)
Setiap amal bergantung kepada niatnya
dan niatnya juga harus ikhlas... karena ikhlas adalah syarat diterima amal ibadah kita, sebagaimana diterangkan dalam ayat Al Qur'an (QS. Az Zumar: 65)," Jika kamu mempersekutukan (Rabb), niscaya akan hapuslah amalmu."

ikhlas secara lughowi artinya 'murni' yaitu memurnikan keta'atan hanya kpd Allah, ikhlas jg berarti 'bersih' yaitu bersih dr segala yg mengotorinya yaitu riya, 'ujub, sum'ah dan mengharapkan balasan selain dari Allah.
gambarannya begini... sering kita berbuat baik kepada orang dengan membantunya, menolongnya, memberikan berbagai kebaikan dll, tapi ketika kita tidak mendapat balasan yang semestinya kadang kita mengungkit kebaikan yang pernah kita lakukan untuknya walaupun kadang cuma dalam hati. tapi ini mengindikasikan bahwa selama ini kebaikan yang kita lakukan tidak ikhlas. dan amal yang tidak ikhlas seperti debu yang beterbangan alias sia sia.
riya adalah engkau beramal karena manusia dan engkau meninggalkan amal juga karena manusia. jadi riya itu bukan hanya mengharapkan pujian dan balasan dari manusia ketika beramal, tapi meninggalkan amal ibadah karena takut dipuji misalnya atau takut tidak ikhlas juga termasuk riya. jadi segala sesuatu hanya karena Allah
“dan (aku telah diperintah): "Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS Yunus [10] :105)
Rasulullah saw, juga mengingatkan kita melalui sabdanya (yang artinya), “Allah tidak menerima amal kecuali apabila dilaksanakan dengan ikhlas untuk mencari ridha Allah semata.” (HR Abu Dauddan Nasa’i) Imam Ali bin Abu Thalib r.a juga berkata, “orang yang ikhlas adalah orang yang memusatkan pikirannya agar setiap amal diterima oleh Allah.”
Firman Allah Swt (yang artinya): Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS al-An’aam [6]: 162)
Allah Swt. juga berfirman dalam ayat lain (yang artinya), “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (QS al-Bayyinah [98]: 5)

Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”
Al-Fudhail bin ‘Iyadh mengomentari ayat kedua dari surat al-Mulk (liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amalaa), bahwa maksud dari amal yang ihsan (paling baik) adalah amal yang akhlash (paling ikhlas) dan yang ashwab (paling benar). Ada dua syarat diterimanya amal ibadah manusia, ikhlas dan benar. Amal perbuatan, termasuk ibadah yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah semata tetapi pelaksanaannya tidak sesuai dengan syariat Islam, maka amal tersebut tidak akan diterima Allah. Begitu juga sebaliknya, jika perbuatan dan ibadah dilakukan sesuai dengan syariat, tetapi yang melaksanakannya tidak semata-mata ikhlas karena Allah, maka amalnya tidak diterima.

Seseorang yang ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras dari kerikil-kerikil dan batu-batu kecil di sekitar beras. Maka, beras yang dimasak menjadi nikmat dimakan. Tetapi jika beras itu masih kotor, ketika nasi dikunyah akan tergigit kerikil dan batu kecil. Demikianlah keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan segala pengorbanan tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan riya’ akan menyebabkan amal tidak nikmat. Pelakunya akan mudah menyerah dan selalu kecewa.Tetapi banyak dari kita yang beribadah tidak berlandaskan rasa ikhlas kepada Allah SWT, melainkan dengan sikap riya’ atau sombong supaya mendapat pujian dari orang lain. Hal inilah yang dapat menyebabkan ibadah kita tidak diterima oleh Allah SWT.

Ciri-Ciri Orang Ikhlas
1. Terjaga dari segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT, baik sedang bersama dengan manusia atau sendiri. Disebutkan dalam hadits,“ Aku beritahukan bahwa ada suatu kaum dari umatku datang di hari kiamat dengan kebaikan seperti Gunung Tihamah yang putih, tetapi Allah menjadikannya seperti debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah saudara-saudara kamu, dan kulitnya sama dengan kamu, melakukan ibadah malam seperti kamu. Tetapi mereka adalah kaum yang jika sendiri melanggar yang diharamkan Allah.” (HR Ibnu Majah)
2. Senantiasa beramal di jalan Allah SWT baik dalam keadaan sendiri atau bersama orang orang lain, baik ada pujian ataupun celaan. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata,“ Orang yang riya memiliki beberapa ciri; malas jika sendirian dan rajin jika di hadapan banyak orang. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan semakin berkurang jika dicela.”
3. Selalu menerima apa adanya yang diberikan oleh Allah SWT dan selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT.
4. Mudah memaafkan kesalahan orang lain.

Tingkatan Ikhlas

1. Iklhas Mubtadi’ : Yakni orang yang beramal karena Allah, tetapi di dalam hatinya terbesit
keinginan pada dunia. Ibadahnya dilakukan hanya untuk menghilangkan kesulitan dan kebingunan. Ia melaksanakan shalat tahajud dan bersedekah karena ingin usahanya berhasil. Ciri orang yang mubtadi’ bisa terlihat dari cara dia beribadah. Orang yang hanya beribadah ketika sedang butuh biasanya ia tidak akan istiqamah. Ia beribadah ketika ada kebutuhan. Jika kebutuhannya sudah terpenuhi, ibadahnyapun akan berhenti.
2. Ikhlas Abid : Yakni orang yang beramal karena Allah dan hatinya bersih dari riya’ serta keinginan dunia. Ibadahnya dilakukan hanya karena Allah dan demi meraih kebahagiaan akhirat, menggapai surga, takut neraka, dengan dibarengi keyakinan bahwa amal ini bisa menyelamatkan dirinya dari siksaan api neraka. Ibadah seorang abid ini cenderung
berkesinambungan, tetapi ia tidak mengetahui mana yang harus dilakukan dengan segera
(mudhayyaq) dan mana yang bisa diakhirkan (muwassa’), serta mana yang penting dan lebih penting. Ia menganggap semua ibadah itu adalah sama.
3. Ikhlas Muhibb : Yakni orang yang beribadah hanya karena Allah, bukan ingin surga atau takut neraka. Semuanya dilakukan karena bakti dan memenuhi perintah dan mengagungkan-Nya.
4. Ikhlas Arif, yaitu orang yang dalam ibadahnya memiliki perasaan bahwa ia digerakkan Allah. Ia merasa bahwa yang beribadah itu bukanlah dirinya. Ia hanya menyaksikan ia sedang digerakkan Allah karena memiliki keyakinan bahwa tidak memiliki daya dan upaya melaksanakan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Semuanya berjalan atas kehendak Allah.

Sedangkan cara untuk ikhlas adalah menyadari betul bahwa tidak ada yang dpt mendatangkan manfaat dan mudharat kecuali Allah.

---------------------------------------------------------------------

Layaknya suatu benda dcampur dngn yg lain seperti susu bercampur air. Maka jika susu itu bersih dari campuran air maka disebutlah murni. Dan perbuatan yang menjernihkan dan memurnikan disebut Ikhlas.Dikatakan, ikhlas merupakan unsur terpenting dari suatu pekerjaan hati, yang diatasnyalah tempat beredarnya seluruh ibadah.

Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan menunaikan ketaatan kepada-Nya” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Juga dalam firman-Nya: “Ingatlah hanya kepunyaan Allah-lah agama yang murni (ini) (QS. Az-Zumar: 3)

Rasulullah SAW bersabda: “Ikhlaslah kamu dalam agamamu, maka amal sedikitpun akan mencukupi.” (HR. Ibnu Abid Dunia, Hakim, dari Mu’adz. Shohih)

Juga dalam sabda beliau yang lain: “Allaoh tidak akan menerima suatu amal, kecuali yang ikhlas karena-Nya dan mengharapkan keridloan-Nya”.

Dari Abu Dzar dia berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah tentang ikhlas, beliau bersabda: “Hingga aku bertanya tentangnya kepada Jibril”, kemudian beliau menanyakan kepada Jibril dan Jibril menjawab: “Hingga aku bertanya tentangnya kepada Tuhan Yang Maha Agung”, maka Jibril bertanya kepada Allah, yang kemudian Allah berfirman, “Ikhlas adalah rahasia dari rahasia-rahasia-Ku yang Aku titipkan kedalam hati yang Aku cintai dari hamba-hamba-Ku, yang tidak akan diketahui malaikat hingga ia mencatatnya dan tidak pula setan yang akan merusaknya.”

Para ulama sufi mengatakan bahwa ikhlas adalah maqam ihsan, yaitu hendaklah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya (Lihat Iqozul Himam: 3)

Sahl bin Mu’adz at-Tastari ra. berkata: “Bahwa Akyas dalam tafsir Ikhlasnya melihat bahwa ikhlas tidak lain adalah hendaknya dalam gerak dan diamnya, rahasia dan terangnya diniatkan karena Allah semata. Tidak dicampuri sesuatu pun dari nafsu dan kecenderungan-kecenderungannya, dan tidak pula dicampuri oleh urusan dunia.”.

Hal ini sejalan dengan perkataan: “Ikhlaskanlah diri dan milikilah ia, dan jangan menghendaki ketaatan kecuali kedekatan dengan-Nya sebagai tempat menyandar”.

Syekh Junaid ra berkata: “Ikhlas adalah mensucikan perbuatan-perbuatan dari kekeruhan-kekeruhannya”. Dan ikhlas itu memiliki tiga derajat, yaitu derajat ikhlas orang awam, derajat ikhlas orang khowash, dan derajat ikhlas orang khowashul-khowash.

Adapun ikhlasnya orang awam (orang kebanyakan) adalah orang yang beribadah kepada Allah karena menginginkan nasib baik didunia dan diakhirat. Seperti kesehatan, keselamatan harta keluasan rezeki, rumah dan istri. Sedangkan ikhlasnya orang khowash (orang terpilih) yaitu beribadah karena menginginkan nasib baik hanya diakhirat saja.
Sedangkan ikhlasnya orang khowashul-khowash (orang-orang pilihan) adalah mereka beribadah kepada Allah tanpa mengharapkan nasib-nasib baik tersebut, baik didunia ataupun diakhirat. Oleh karena itu, ibadah mereka adalah ibadah yang dikerjakan dengan sebenarnya, dan mereka mengerjakan segala kewajiban dari Tuhan itu diiringi dengan kecintaan dan kerinduan untuk dapat melihat-Nya.

Hal ini sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Ibnu Faridl: “Bukanlah yang kuminta itu kenikmatan surga, kecuali aku hanya ingin melihat-Nya”.


Oleh : Solihin Gubes & Ilham Sandy Firtha
Kaum Sarungan,  20 Februari 2012





Tidak ada komentar:

Posting Komentar